Salurkan Produksi Petani ke Hotel, PD Dinilai Mendesak

202
DISKUSI - Pejabat, pengusaha dan petani bertemu dan berdiskusi, mencari jalan ke luar mengenai masalah pemasaran produksi pertanian di Karangasem.

Pergub Bali tentang pemanfaatan produksi pertanian lokal diapresiasi dan disambut baik petani. Namun, tanpa kebijakan dan solusi nyata lebih lanjut, dikhawatirkan pergub itu hanya macan kertas. Agar ada manfaat signifikan dinikmati dari pergub itu, Pemprov Bali diminta membentuk perusahaan daerah (PD) yang nantinya menampung dan menyalurkan hasil produksi petani ke hotel maupun ke restoran. Bagaimana keluh kesah petani, khususnya di Karangasem?


MASUKAN atau permintaan agar Pemprov Bali membentuk PD khusus menampung hasil produk petani di Bali, mengemuka saat temu kemitraan usaha terkait Festival Subak dan Internasional Coconut Festival di Taman Soekasada Ujung, Karangasem yang ditutup Selasa (17/9) kemarin. Kalangan pakaseh subak kabupaten maupun kecamatan menyampaikan hal itu. Aspirasi kalangan pekaseh subak seperti pekaseh atau kelian majelis alit subak Kecamatan Bebandem,  I Nyoman Rasmi, serta pekaseh majelis madya subak Karangasem Pande Gede Sudasta.

Aspirasi para pekaseh subak itu ditanggapi Kadis Pertanian Karangasem Ir. I Wayan Supandi. Menurutnya, soal pemasaran hasil pertanian selama ini, ketika panen raya harganya anjlok atau ditentukan sendiri oleh pengepul atau saudagarnya,  sebenarnya sudah ada Pergub No. 99 Tahun 2019 tentang Pemanfaatan Hasil Pertanian Lokal. Diharapkan, Pemprov Bali menindaklanjuti dengan membentuk PD. Produksi petani ditampung PD, dan pihak PD-lah yang menyalurkan produk petani itu ke hotel atau restoran. ‘’Dengan cara itu, kami yakin petani akan mendapatkan harga yang layak. Tentunya, stabilitas harga produk pertanian lokal juga akan terjaga,’’ papar Supandi.

Di lain pihak, Agung Weda dari Bali Organik Subak (BOS) mengatakan, saat tampil sebagai salah seorang narasumber Temu Kemitraan Usaha  terkait Festival Subak itu, tentang masukan agar Pemprov Bali membentuk PD yang nantinya mesti menampung produk petani lokal, pihaknya mendapatkan informasi kalau hal itu sedang digodok. Diharapkan, PD yang menampung produk petani lokal itu, bisa terwujud dan efektif membantu petani di Bali.

Petani yang juga Pekaseh Subak Yeh Sayang, Desa Bungaya, Karangasem, Nyoman Rasmi mengatakan, petani di wilayahnya, mungkin juga di wilayah lainnya, umumnya penyakap (penggarap)  atau buruh tani. Kondisi itu menyebabkan, ada ketimpangan yang didapat petani penggarap dari segi pembagian hasil. Sistem pembagiannya satu bagian bagi penggarap dan dua bagian untuk pemilik lahan. Pernah sistem pembagian hasil dimasukkan dalam awig-awig subak, tetapi petani selaku anggota subak tetap dibuat tak berdaya. Pemilik lahan tak sepakat karena menilai yang membuat awig-awig itu petani anggota subak, tentunya dituding hanya menguntungkan petani. Mewakili petani, Rasmi berharap agar pihak pemerintah bisa membantu petani, bagaimana caranya agar bagi hasil antara penggarap dan pemilik bisa seimbang 50-50 persen, demikian juga dengan biaya sarana produksinya.  ‘’Itulah sebabnya, petani tetap tak merasakan hasil atau keuntungan. Akibatnya, susah menjadikan petani berbangga, dan generasi muda kian meninggalkan pertanian.

Saat ini seperti dipaparkan Kadis Pertanian, yang tinggal pertanian kalangan orangtua. Rata-rata usia petani saat ini kalangan di atas 50 tahun,’’ papar Rasmi.

Kelian Subak Kabupaten Karangasem, Pande Gede Sudasta menambahkan, posisi tawar petani dalam menjual produksi hasil pertanian, masih sangat lemah, lemah segala-galanya. Dari segi target peningkatan hasil produksi, anjuran pemerintah sudah berhasil. Nyaris tiap tahun hasil produksi meningkat. Namun, dari segi hasilnya, belum tentu meningkat. ‘’Petani terkadang metanja (menawarkan), berapa harga, saudagar mau membeli produk pertaniannya, misalnya padi atau kelapa. ‘’Aji kuda nyak meli?’’ ujar Sudasta, menirukan petani soal lemahnya posisi petani selaku penghasil atau pemilik produk.

Sudasta menyampaikan masukan agar petani terus dibantu. Bantuannya juga harus tepat sasaran dan dinikmati petani itu sendiri. Karena itu, subsidi pemerintah mestinya digeser dengan mensubsidi sarana produksinya, atau hasil pertaniannya atau panennya yang dibeli. ‘’Kalau petani padi, hasil gabahnya ditampung atau dibeli langsung, bukan mensubsidi berasnya untuk dijual lewat pasar murah. Membantu petani salak yang tiap panen harga salaknya anjlok, salaknya dibeli dan ditampung pemerintah, lalu disalurkankepada konsumen. Kalau kripik salaknya disubsidi, itu kurang tepat, karena sudah tangan kesekian, khawatir petani salaknya  tetap tidak menikmati bantuan atau subsidi pemerintah itu,’’ tandas Pande Sudasta. *bud/editor rahadi