Gianyar (Bisnis Bali) – Arus globalisasi yang melanda perekonomian dunia, berimbas kepada perlambatan ekonomi di Indonesia. Direktur Utama BPR Kanti, Made Arya Amitaba Jumat (12/10) menilai industri bank berkreditan rakyat (BPR) dituntut siap menghadapi risiko kredit. Sebagai akibat dari arus globalisasi ini ialah perubahan tata nilai dalam kehidupan masyarakat yang menimbulkan problematika sehingga perlu diatur oleh aturan hukum dan penegakan hukum. Hal ini penting untuk dilaksanakan adalah karena perubahan tata nilai akan terus terjadi dan merupakan suatu realitas yang tidak dapat ditunda atau ditahan.
Ia menjelaskan dampak dari perubahan tata nilai juga mempengaruhi pada industry BPR. Ini semakin terasa dampak dari persaingan bebas dimana banyak pesaing lembaga keuangan yang berbasis tehnologi (fintech) yang menyerbu segmen / pasar BPR.
Menurutnya, hal ini terlihat bagi sebahagian besar pelaku BPR yang tergolong BPRKU 1 semakin sulit untuk mencari nasabah. Di sisi lain dari data per-Juni 2018 tingkat NPL BPR secara nasional 6,8 persen yang artinya sudah melampaui standar indikator toleransi dari OJK yang lebih kecil dari 5 persen.
BPR dituntut siap menghadapi risiko dalam penyaluran kredit. Kredit yang diberikan kepada debitur selalu ada resiko berupa kredit tidak dapat kembali tepat pada waktunya atau lebih dikenal dengan kredit bermasalah. Didalam lembaga keuangan banyak kejadian kredit yang diberikan menjadi bermasalah yang disebabkan beberapa faktor diantaranya usaha yang dibiayai mengalami kebangkrutan, penurunan omset penjualan, kalah bersaing dengan pengusaha yang lain, dan krisis ekonomi.
Ia menilai debitur bisa saja sengaja melakukan penyimpangan penggunaan kreditnya, seperti membiayai usaha yang tidak jelas, kredit digunakan untuk kebutuhan pribadi sehingga sumber pendapatan usaha tidak mampu mengembalikan kredit tiap bulannya dan akhirnya menjadikan usaha debitur bangkrut. Kondisi kredit yang telah diberikan oleh bank kepada debitur dalam jumlah besar ternyata tidak dapat dikembalikan oleh debitur tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian kredit yang meliputi pinjaman pokok dan bunga.
Made Arya Amitaba meyakinkan kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) yang mengakibatkan terganggunya likuiditas perbankan itu sendiri. Dengan adanya permasalahan kredit perbankan mengalami default risk akibat ketidakmampuan debitur dalam mengembalikan pinjaman kredit yang diterimanya dengan jangka waktu yang telah ditentukan.
Ketua DPK Perbarindo Kabupaten Gianyar, Made Suarja mengatakan NPL BPR sentuh 8 persen mengartikan kondisi ekonomi belum pulih. Kondisi berbagai sektor ekonomi belum semuanya pulih. Ini terutama sektor properti sebagai penyumbang kontribusi terbesar NPL sektor perbankan khususnya BPR.
Menurutnya, ekonomi melambat menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Ini bukan berarti masyarakat dan sektor usaha tidak memiliki uang. Sebaliknya, masyarakat banyak memiliki uang tetapi tidak dibelanjakan. Ini bisa dibuktikan banyaknya dana idle di BPR.
Ia melihat ketika terjadi gejolak ekonomi global banyak masyarakat menempatkan dana pihak ketiga (DPK) di BPR. Sementara itu, DPK di BPR ini lebih banyak idle. Ketika dana idle tinggi menunjukan masyarakat memilih tidak melakukan perluasan usaha saat terjadi gejolak ekonomi. Masyarakat dan sektor usaha terlihat menunggu perkembangan ekonomi sehingga lebih sementara menempatkan dananya di BPR. (kup)