Pelemahan Rupiah, Berdampak Tingkatkan Biaya Produksi

229

Bangli (Bisnis Bali) –  Pelemahan rupiah terhadap dolar AS yang tak kunjung membaik, diakui telah berdampak pada kemampuan saving pelaku usaha ke sejumlah lembaga keuangan. Pelemahan rupiah telah berdampak pada meningkatnya biaya produksi seiring tingginya ketergantungan usaha pada kandungan impor selama ini.

“Kondisi pelemahan rupiah ini berdampak pada semua lini usaha, termasuk juga di kalangan usaha pertanian hortikultura. Kini, dampak yang dirasakan cukup besar, seiring murahnya harga sejumlah komoditi panen saat ini,” tutur  salah seorang petani sekaligus pelaku usaha agro antarpulau I Wayan Merta., S., Sos., MM, di Bangli.

Pengaruh pada sektor pertanian, khususnya pelaku usaha hortikultura ini terjadi karena masih tingginya ketergantungan terhadap bahan baku impor. Akibatnya, ketika rupiah melemah, kondisi itu membuat biaya produksi ikut naik.

Lonjakan biaya produksi tersebut, disumbangkan oleh biaya obat dan pupuk yang harganya naik 5-10 persen dari sebelumnya. Contohnya, obat semprot hama yang sebelumnya berada dikisaran Rp100 ribu per botol, dengan adanya pelemehan rupiah ini obat tersebut naik menjadi Rp 125 ribu per botol. Akibatnya, kemampuan saving pun jadi terpengaruh, baik dalam bentuk tabungan maupun deposito.

“Karena biaya produksi menjadi makin mahal, saya pun terpaksa harus menurunkan anggaran untuk menabung, sekitar 2-5 persen dari kemampuan rata-rata sebelumnya,” ujarnya.

Kini kondisi pelaku usaha hortikultura makin terjepit, karena mahalnya biaya produksi tak dibarengi dengan harga jual produk di pasaran. Harga hortikultura, semisal sayur-sayuran hingga cabai sangat murah saat ini. Sebab, jumlah produksi di tingkat petani dalam kondisi berlebih akibat panen, sehingga kondisi itu makin menyulitkannya.

Hal senada juga diungkapkan, Wayan Sujana pelaku usaha sejenis lainnya. Pelemahan rupiah ini makin membebani keberlangsungan usaha saat ini. Sebab, biaya produksi makin mahal, sehingga ada sejumlah anggaran alokasi untuk tabungan yang terpaksa harus dikurangi untuk saat ini.

“Saya sempat menggunakan alternatif lain untuk menekan biaya produksi, namun hasilnya tidak maksimal. Akhirnya, terpaksa kembali menggunakan obat yang harganya makin mahal, terpenting hasil produksi menjadi baik,” kilahnya. (man)