Nilai Ekspor Ikan Capai Rp4 M Dolar AS

318

Amlapura (Bisnis Bali) – Penangkapan jenis ikan penting termasuk lobster atau udang-udangan di alam laut dilarang atau ditekan. Tujuannya, agar plasma nuftahnya di alam tak habis karena ditangkapi dan dijual ke luar negeri.

Hal itu disampaikan Dirjen Perikanan Budidaya Dr. Ir. Slamet Sebakti, di Balai Pembenihan Induk Udang Vaname di Desa Bugbug, Karangasem.  Slamet mengatakan, sudah keluar surat edaran menteri kelautan tentang larangan ekspor kerang alam.

‘’Saat  ini semua sudah menyadari mencari induk-induk udang seperti lobster di laut sudah sulit, karena populasi sudah makin jarang, tidak seperti dulu,’’ katanya.

Jalan satu-satunya untuk keperluan budi daya, mesti dilakukan pembenihan atau hatchering baik jenis udang-udangan seperti lobster, udang vaname dan jenis lainnya, serta jenis kerang-kerangan yakni kerang mutiara.

‘’Jangan sampai nanti, setelah populasi udang atau kerang alam kita habis, kita impor lagi dari Hawai dan Florida, dan tentunya harganya sangat mahal. Terlebih perang dagang AS dan China, juga berdampak terhadap perekonomian bangsa kita,’’ kata Slamet.

Sebenarnya, Indonesia merupakan produsen udang terbesar. Selama ini berkat penelitian para ahli yang tak kenal lelah, kita sudah mampu menghasilkan induk udang vaname. Induk udang jenis unggul  dengan rasa daging yang enak itu, sudah sangat adaftif di lingkungan  perairan kita atau pada  budidaya kolam buatan.

‘’Berbagai jenis udang produk petani kita antara lain dikirim ke Hongkong atau Taiwan. Sementara kapasitas permintaan masih sangat banyak, termasuk potensi pemasaran kerang mutiara di pasar ekspor masih sangt besar. Kita jangan lagi mengandalkan menangkap atau eksploitasi induk udang-udangan dengan menangkap dari alam,’’ tegasnya.

Di lain pihak, Dirjen Penguatan Daya Saing Kelautan dan Produk Perikanan Kementerian Kelautan, Ir. Rifki Efendi Hardijanto menambahkan, nilai produk perikanan Indonesia mencapai 4 miliar dolar AS tiap tahun. Dari nilai ekspor itu, seperempatnya atau 25 persen disumbang dari ekspor udang. Sampai kini dari 25 persen total nilai ekspor udang itu, 60 persennya berasal dari udang budidaya.

Ekspor udang ke AS, baru senilai 1,1 miliar dolar AS dan masih kalah dengan India. Negara India masih memegang 34 persen ekspor udang ke AS.

Sebenarnya, potensi Indonesia meningkatkan produk ekspor dari udang, masih sangat besar. Sebab, kita memiliki kelebihan di mana negara kepulauan yang tentunya memiliki garis pantai yang sangat panjang dan luas.

Pembudidayaan udang di India lebih rentan terhadap gejolak air laut, sementara Indonesia sebagai negara kepulauan akan memiliki perlindungan atau semacam barier.

‘’Sayangnya, penyakit kita yakni penyakit pragmatis, maunya serba instan. Inginnya cepat mendapatkan hasil, tetapi dengan cara yang mudah, dengan menangkap udang seperti lobster banyak-banyak dari laut atau dari alam. Lama-lama populasi udang di alam akan habis, dan akan sulit mendapatkannya lagi,’’ paparnya.

Kekayaan laut kita ini harus dikelola dengan baik. Sebab, ke depan masa depan kita berada di laut baik dari sektor ikan atau pun udang. Melihat potensi itu, Menteri Susi terus berupaya secara tegas melakukan perlindungan plasma nuftah kita di laut.

Penangkapan lobster secara serampangan dilarang, agar plasma nuftahnya tak habis dijual ke luar dan Negara lain mengambil plasma nuftah itu dan dikembangkannya. Namun karena dengan kebijakan perlindungan itu, banyak yang merasa dirugikan dan akhirnya protes.

‘’Memang harga per ekor lobster dari alam mencapai Rp 30 ribu per ekor, bahkan mungkin bisa Rp 60 ribu. Dengan kami terus melakukan pertemuan dan diskusi-diskusi, akhirnya kami tak bekerja sendiri. Ada banyak dukungan dari Dinas Perikanan di Daerah, termasuk di Bali dari Dinas Perikanan seperti di Karangasem dan juga Kadis Perikanan Pemprov Bali,’’ tandas Rifki.

Rombongan dua  Dirjen dan staf dari Kementerian Kelautan itu, di Karangasem meninjau unit pengembangan kekerangan abalone di Tigaron, Kubu, serta Balai Broadstok Induk Udang Vaname di Bugbug.  (bud)