Denpasar (Bisnis Bali) – Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan bunga acuan BI 7 DRR untuk keempat kalinya 0,25 persen dari 5,25 persen menjadi 5,5 persen. Menurut pengamat perbankan IB Kade Perdana, BI telah gagal menahan pelemahan rupiah melalui kebijakan yang terfokus pada utak atik suku bunga acuan.
“Kondisi ini suku bunga ini berarti kembali ke posisi April dan Mei pada 2016,” tutur Kade Perdana, di Denpasar, Senin (20/8).
Kenaikan suku bunga acuan BI 7 DRR terkait dengan terjadinya pelemahan rupiah semestinya tidak menyebabkan melorotnya cadangan devisa nasional yang pada Mei 2018 mencapai 122,9 miliar dolar AS turun menjadi 118 miliar dolar AS pada Juli 2018. Sebab, semestinya pelemahan rupiah itu merupakan momentum yang baik untuk mendorong ekspor guna meraih devisa yang sebesar- besarnya sebagai fundamental dan faktor utama untuk memperkuat cadangan devisa nasional dikisaran idealnya 1 triliun dolar AS.
“Contoh Tiongkok yang berusaha menjaga mata uangnya dalam posisi lemah guna mengapresiasi daya saing komoditas ekspornya untuk mendorong penguatan cadangan devisanya. Hasilnya, kini Tiongkok memiliki cadangan devisa terbesar didunia mencapai 3,112 triliun dolar AS,” ujarnya.
Bercermin dari Tiongkok, pelemahan rupiah sesungguhnya merupakan momentum yang baik untuk mendorong ekspor guna memperkuat cadangan devisa nasional seperti yang dilakukan Tiongkok.
Saat ini cadangan devisa nasional masih kurang signifikan jumlahnya dan nampaknya masih belum bisa menjadi jaminan untuk mampu menahan dan mendukung serta menjaga stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dalam skala yang tinggi.
“Kondisi tersebut membuat daya tahan rupiah jadi cenderung lemah dan rentan terkena dampak berbagai goncangan maupun tekanan, baik yang bersumber dari internal maupun eksternal,” tandasnya.
Bercermin dari kondisi itu menurutnya, mengutak atik kebijakan moneter saja melalui politik diskonto dengan menaikkan suku bunga acuan BI 7 DRR yang telah empat kali dinaikkan yang didukung dengan intervensi BI yang menguras cadangan devisa, ternyata tidak efektif dan gagal untuk menahan laju terdepresiasinya mata uang rupiah. Ironisnya, nilai mata uang rupiah justru terdepresiasi makin dalam yang telah menyentuh level Rp 14.600 per 1 USD.
Sebaiknya pemerintah Indonesia mencari strategi dan mengeluarkan kebijakan untuk mendorong ekspor dengan memberikan kemudahan kepada para ekportir. Misalnya, memberikan insentif berupa keringanan pajak dan bunga pinjaman yang serendah mungkin.
Selain itu tambahnya, mengendalikan impor dengan menetapkan pajak yang tinggi. Kebijakan tersebut, termasuk pemberian bunga yang tinggi untuk fasilitas impor sekaligus memberdayakan pasar dalam negeri yang didominasi dengan produk lokal. (man)