Denpasar (Bisnis Bali) – Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga independen yang mempunyai tugas di bidang makro prudensial bertanggung jawab menjaga stabilitas nilai mata uang rupiah dan terkendalinya inflasi dalam level yang serendah mungkin. Saat ini inflasi ditargetkan di kisaran 3,5 persen plus minus 1 persen.
Terdepresiasinya rupiah yang melemah hingga menembus Rp 14.500 per dokar AS kini telah menembus level kritis. Kondisi tersebut berpotensi memicu hiperinflasi.  BI pun kewalahan, serta seolah tak mampu menemukan obat mujarab agar rupiah bisa kembali ke nilai fundamentalnya. Padahal secara teori kebijakan moneter dengan mengutak atik politik diskonto melalui upaya menaikkan suku bunga yang diterapkan AS merupakan teori lama.
Menurut pengamat perbankan, IB., Kade Perdana, kebijakan Amarika Serikat (AS) yang menaikan suku bunga acuan ini merupakan dampak dari perang dagang Tiongkok, mengingat negara tirai bambu tersebut sengaja melemahkan nilai mata uangnya agar bisa mendorong ekspor untuk meraih devisa yang banyak. Selanjutnya, dampak membaiknya perekonomian AS yang terus berusaha dijaga dalam upaya memperkuat perekonomiannya, The Fed mengambil langkah menaikkan suku bunga acuan mencapai empat kali pada tahun ini. Tujuannya, untuk mengapresiasikan nilai mata uang dolar AS terhadap mata uang negara lainnya.
“Kebijakan AS ini berlawanan arah dengan apa yang dilakukan Tiongkok dengan sengaja mendepresiasikan nilai mata uangnya,” tuturnya.
Jelas Kade yang juga Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Fisikal dan Moneter, dikaitkan dengan yang dialami Indonesia, kondisinya hampir sama dengan yang dihadapi Tiongkok. Namun perbedaannya Indonesia tak sengaja melemahkan nilai mata uang rupiah, melainkan murni sebagai dampak kebijakan The Fed yang menaikan suku bunga acuan.
Sayangnya, Indonesia tidak mampu memanfaatkan momentum yang sesungguhnya sangat baik untuk mendorong ekspor dalam upaya menarik devisa sebanyak- banyaknya. Hal ini mengindikasikan ada sesuatu yang salah atau tidak beres terkait struktur dan fundamental perekonomian Indonesia.
“Kendatipun demikian belakangan ini BI tidak lagi merespon ikutan menaikkan suku bunga acuan BI 7 DRR. Ada kebijakan lainnya untuk merespon kenaikkan suku bunga The Fed, lantaran ada yang mengkritiknya bahwa melemahnya rupiah menembus level kritis Rp14.500 per AS dolar sebagai dampak kebijakan BI yang tidak menaikkan suku bunga acuannya,” ujarnya.
Selama ini, produk impor masih mendominasi pasar dalam negeri. Itu dampak dari belum mampunya mengeleminir pasar dalam negeri akan ketergantungan terhadap produk impor.
“Akibatnya produk impor dapat dibilang merajai di pasar dalam negeri, sedangkan produk dalam negeri terpinggirkan. Sampai-sampai produk ekspor kita juga memiliki kandungan impor yang tinggi. Kondisi tersebut berimbas pada daya saing ekonomi nasional menjadi lemah,” tandasnya.
Apabila pola seperti ini tak segera diperbaiki, bisa berbuntut terjadinya imported inflation yang masuk dari banyaknya produk yang diimpor akan mendorong inflasi menjadi tinggi. Dampak ikutannya, bila inflasi cenderung menjadi tinggi, apalagi kemudian tercipta hiperinflasi (inflasi yang berat) yang bisa menimbulkan depresi ekonomi, maka hiperinflasi patut diwaspadai dan dikendalikan dengan cara apapun agar jangan sampai terjadi. (man)