Potensi ekspor berbagai jenis perhiasan Bali begitu terbuka. Untuk tetap mampu menjaga kepercayaan para buyer, praktik mencurangi kualitas material perhiasan pantang dilakukan perajin. Mereka dituntut memiliki komitmen jujur dalam produksi dan menjadikan kualitas perhiasan adalah sebuah “harga mati “. Kenapa dan bagaimana praktik kecurangan itu terjadi?
BALI begitu kaya potensi kerajinan perhiasan yang sekaligus merupakan budaya kearifan lokal. Mulai dari perhiasan emas, perak, kuningan, maupun yang berbahan baku emas imitasi. Dari sisi desain dan motif juga merupakan hasil karya seni para perajin/pemotif yang adiluhung. Betapa tidak, seni motif Bali tak ada duanya di belahan dunia mana pun. Inilah salah satu kekuatan produk kerajinan perhiasan Bali dari waktu ke waktu tetap diminati baik pasar lokal, domestik, dan mancanegara. Adalah wajib bagi setiap perajin menjaga dan menguatkan potensi tersebut dengan cara komitmen menjaga kualitas produk dalam proses produksi khususnya menggunakan material berkualitas dan berstandar perdagangan dunia.
Selama ini produksi perhiasan Bali masih terkendala pasokan bahan baku. Kalau cuma ini kendalanya, solusinya jelas masih ada. Persoalannya sudahkan para produsen yang bekerja di dapur produksi jujur dalam mempermak material emas 24 karat menjadi 23 karat atau 22 atau 21 karat? Tentu ini harus dijawab berdasarkan hati nurani perajin. Praktik kecurangan pemanfaatan material perhiasan contohnya, ketika membuat kadar perhiasan 23 karat atau 91 persen, yang seharusnya memanfaatkan kolaborasi emas 9 persen dan satu persen tembaga, yang dilakukan bisa jadi mencampur 5 emas dengan 5 tembaga. Perbedaan permakan material ini tentu akan mempengaruhi kualitas perhiasan nanti. Kalau yang begini dipasok ke pasar ekspor pasti ditolak. Kadar ideal perhiasan emas adalah 9:1 antara emas dan tembaga. Material perak kadar idealnya adalah 925 karat. Kadar ini sesuai dengan produksi PT Aneka Tambang Jakarta.
“Ini tentu sangat tergantung komitmen perajin. Jika hanya berorientasi profit dengan mencurangi kualitas material tentu usahanya takkan berumur panjang,” ungkap owner Wirata Jewellry, Kadek Ariana, baru-baru ini.
Dikatakan, material yang tak berkualitas kendati dalam bentuk perhiasan bisa laku di pasar lokal namun tetap saja akan mengurangi daya saingnya di pasaran. Hal itu karena saat ini konsumen sudah sangat selektif membeli. Walaupun dalam label tertera 23 atau 22 karat tetap saja akan kentara dalam waktu tertentu jika perhiasan tersebut terus digunakan konsumen. Ciri perhiasan emas yang menggunakan kadar tak ideal yakni mudah luntur, dan harga purnajualnya akan jatuh. Beda dengan perhiasan berkualitas selain awet harga purnajualnya akan relevan dengan perkembangan harga emas saat ini. (gun)