Denpasar (Bisnis Bali) – Kebijakan pemerintah untuk membuka impor beras, menurut Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra, Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc. MMA., akan berdampak buruk terhadap harga di tingkat petani. Kebijakan tersebut juga berarti revitalisasi pertanian untuk mewujudkan swasembada beras yang telah dicanangkan Presiden tampaknya hanya sekadar retorika belaka.
“Kebijakan pembukaan impor beras jelas sangat tidak berpihak kepada petani dan inkonsisten dengan semangat revitalisasi pertanian. Petani sangat dirugikan dengan kebijakan tersebut karena akan merusak pasar beras di dalam negeri, sekaligus dapat menurunkan pendapatan petani,” tutur Gede Sedana, di Denpasar, Minggu (21/1).
Ia menerangkan, untuk memutuskan impor beras, hendaknya pemerintah benar-benar dengan perhitungan yang matang dan melihat kondisi perberasan, yaitu peningkatan produksi beras di dalam negeri. Menurutnya, bisa saja sangat dimungkinkan terjadinya ketidakbenaran di dalam menghitung produksi gabah dan beras dalam negeri, termasuk dengan kebutuhan atau konsumsi penduduk. Ini berarti juga bahwa di Indonesia belum tersedia database perberasan yang memberikan informasi faktual mengenai produksi, produktivitas, dan konsumsi di setiap wilayah atau daerah di Indonesia dan pada periode waktu tertentu.
“Ketiadaan database ini dapat memungkinkan terjadi kesalahan perhitungan, sehingga dengan mudah diplintir untuk segera melakukan impor beras,” ujarnya.
Bercermin dari kondisi tersebut, jelas Gede Sedana yang juga Ketua HKTI Buleleng, terdapat beberapa kekeliruan terhadap kebijakan ini. Pertama, kebijakan yang berpihak pada petani belum dilakukan secara profesional. Banyak hal yang sederhana tidak dilakukan atau sengaja tidak dilakukan karena kelemahan koordinasi program dan kegiatan antar kelembagaan dan kepemimpinan di tingkat kabinet terkait dengan subsidi pupuk, dukungan benih, irigasi, pasar desa, sarana prasarana lain, dan penyuluhan serta pascapanen.
Paparnya, dulu elemen-elemen kebijakan ini dilakukan oleh pemerintah tetapi sekarang tidak ada kendaraan kelembagaan dan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan petani dalam hal kebutuhan untuk produksinya. Ini menunjukkan bahwa pemerintah lemah dalam hal kebijakan pertanian, meskipun sudah ada wacana revitalisasi pertanian. Akan tetapi, wujud konkretnya tidak ada. Semua elemen-elemen kebijakan pertanian itu merupakan kebijakan pemerintah, yang harus dilakukan karena petani adalah golongan masyarakat yang paling memerlukan uluran tangan kebijakan pemerintah. Meskipun kebijakan revitalisasi pertanian tidak dikerjakan oleh pemerintah, tetapi wujud kebijakan dasar tersebut harus ada.
Kedua, pemerintah sudah tidak mampu membuat kebijakan yang baik dalam mendukung keberlangsungan hidup petani, malah membuat kebijakan impor beras yang merusak kesejahteraan petani. Inilah ironi pemerintahan yang tidak mampu berbuat untuk petani malah membuat kebijakan yang menyudutkan posisi petani. (man)