Ketika sektor properti sedang booming-booming-nya beberapa tahun silam (2012- 2014) fasilitas kredit jangka panjang, yakni Kredit Pemilikan Rumah (KPR) merupakan primadona atau jadi pilihan masyarakat. Seiring perlambatan ekonomi 2015 yang dampaknya hingga kini masih terasa pada penjualan produk properti, masihkan KPR jadi primadona pasar? Berikut laporannya.
TAK sedikit developer mulai dari kelas bawah – atas kini mengeluh penjualan produk properti mereka masih merayap lambat. Masih relatif rendahnya daya beli pasar pun disebut-sebut sebagai faktor penyebabnya. Mereka tidak bisa bicara banyak lagi, walaupun berbagai kebijakan pusat mulai dari aturan pelonggaran loan to value (LTV), dan penurunan suku bunga KPR. Ini memang harapan pengembang agar serapan KPR meningkat. Namun apa daya kebijakan tersebut masih jauh panggang dari api. Realitanya belum meningkatnya pendapatan masyarakat (pasar properti) turut andil menciptakan kondisi lesunya bisnis perumahan maupun kapling. Bagaimana dengan data-data riil serapan produk properti tahun ini?
Mengutip hasil survai harga properti residensial primer (SHPR) Bank Indonesia (BI), selama tiga bulan pertama, KPR mencapai Rp10,9 triliun, turun 5,72 persen atau menyusut Rp 665 miliar jika dibandingkan periode sama tahun lalu. Penurunan paling terasa untuk KPR tipe kecil yang turun 7,52 persen sedangkan kredit apartemen turun 0,52 persen.
Segmen yang mengalami kenaikan justru KPR tipe besar dan ruko atau rukan meningkat masing-masing 2,3 persen dan 4,92 persen.
Kendati turun dibandingkan periode sama tahun lalu, industri properti di Bali juga menunjukkan ada secerah harapan. Ada peningkatan pertumbuhan harga properti residensial pada pasar primer. Secara tahunan, harga properti primer di Bali meningkat 1,18 persen jika dibandingkan periode triwulan pertama tahun lalu. Namun, jika dibandingkan triwulan akhir tahun lalu hanya naik 0,74 persen.
Pertumbuhan terbesar tahunan terjadi pada rumah tipe besar yang harganya naik 2,03 persrn diikuti rumah tipe menengah 1,22 persen dan rumah tipe kecil hanya naik 0,27 persen. Capaian tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan periode sama tahun lalu.
Dari hasil survai itu diketahui faktor yang dianggap responden menyebabkan harga naik adalah pengaruh kenaikan harga bahan bangunan 28,95 persen, mahalnya biaya perizinan 21,05 persen dan kenaikan upah pekerja 21,05 persen.
Owner Perum Citra Nirwana Regency, Bagio Utomo dikonfirmasi, Minggu (6/8) pagi memaparkan, penjualan produk properti kini memang masih lesu. Karena itu dia pun selektif memilih berinvestasi. Dia kini lebih konsentrasi mengembangkan rumah bersubsidi karena pasarnya dinilai relatif terbuka. Namun dalam perjalanan waktu penjualan juga dirasakannya relatif lesu. Pengembang asal Semarang ini terap berusaha membesarkan hati. Dia menilai kondisi saat ini memang perlu waktu untuk pulih seiring upaya keras pemerintah menggerakkan perekonomian dengan menggenjot megaproyek-megaproyek nasional.
Di bagian lain, menurutnya, ini tantangan bagi pebisnis untuk berinovasi. Sebab hanya dengan inovasi pasar dapat dipikat karena secara alamiah setiap orang ingin berusaha memiliki rumah atau sarana investasi properti lainnya yang nyaman untuk ditempati bersama keluarga juga memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan.
KPR selama ini memang merupakan fasilitas kredit primadona tak hanya bagi pasar menengah bawah tetapi juga atas. Namun sebagai dampak perlambatan ekonomi 2015 daya beli belum bisa bangkit dan terimbas pada lesunya penjualan. Ini tantangan berat lebih-lebih pendanaan proyek yang telah digulirkan persentasenya lebih besar memanfaatkan dana bank.
Stimulus bagi pasar berupa uang muka rendah juga kemudahan dalam mengakses KPR tak berdampak signifikan terhadap daya beli. Satunya-satunya jalan adalah wait and see namun tetap mengoptimalkan penjualan produk-produk sisa.
Sementara itu pakar bisnis properti, Dr. Dewa Putu Selawa, M.M., menyampaikan dalam kondisi saat ini setiap pebisnis memang perlu instropeksi diri. Perlu tindakan fokus dalam menjalankan bisnis terutama menyangkut market oriented dengan mengoptimalkan sumber daya strategis untuk mencapai target yang ingin dicapai. Hal tak kalah penting adalah mengembangkan pola kemitraan strategis. Contohnya konsorsium dengan beberapa rekan bisnis sehingga bisa saling menguatkan satu sama lainnya. Itu karena bisnis properti mengandung multyplayer efec yakni mempengaruhi banyak sektor ekonomi juga dipengaruhi sinergi kebijakan/regulasi pemerintah. (gun)