Kamis, November 21, 2024
BerandaBisnisPerlu Ketegasan Aturan Wisatawan Masuk Pura

Perlu Ketegasan Aturan Wisatawan Masuk Pura

Adanya kasus wisatawan menduduki salah satu pelinggih pura di Bali mendapat perhatian masyarakat dan sektor pariwisata Bali. Sejauhmana kerancuan aturan menyebabkan wisatawan melalukan perilaku yang melanggar aturan pura di Bali?

PADA awalnya pura ini dibangun untuk kepentingan penyungsung, pemedek dan masyarakat Hindu untuk menghaturkan bakti. Pura tempat kepentingan beragama secara religius.
Di pura terlihat penerapan  konsep Tri Hita Karana. Di sini terlihat hubungan manusia dengan Tuhannya. Pura dibangun dan dijadikan tempat pemujaan dalam rangkaian upacara piodalan.
Pada zaman pariwisata, pura dianggap sebagai salah satu daya tarik pariwisata. Wisatawan tertarik melihat daya tarik sebuah pura karena cerita sejarah pura. Pura juga menampilkan kehidupan budaya masyarakat di Bali. Ini dalam  hubungan manusia dengan Tuhan dan alamnya.
Dewan Pembina Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali, Bagus Sudibya mengatakan, wisatawan yang cerdas tentunya sangat tertarik mengunjungi daya tarik pura di Bali.  Ini dikarenakan pura sebagai tempat pembuktian pelaksanaan konsep Tri Hita Karana tersebut. “Bagaimana hubungan kedekatan antara manusia dengan Tuhan,” ucapnya.
Ketidakpahaman wisatawan terhadap budaya Bali terkandang membuat wisatawan bisa melakukan pelanggaran aturan ketika memasuki lingkungan pura. Sebagai contoh wisatawan memang tidak diperbolehkan memasuki kawasan utama mandala pura. Penyebab wisatawan memasuki utama mandala di kawasan daya tarik wisata pura di Bali diakibatkan kerancuan aturan yang diberlakukan mengacu awig-awig yang diberlakukan krama atau pengempon pura.
Diungkapkannya, kerancuan informasi aturan memasuki kawasan wisata daya tarik pura memang berawal dari pemandu wisata (guide) kepada wisatawan. Informasi yang disampaikan guide kepada wisatawan sesuai dalam aturan awig-awig dan pengumuman yang disampaikan di depan pura, wisatawan hanya diperbolehkan hanya memasuki sampai di kawasan madya mandala.
Ia menjelaskan, informasi yang disampaikan para guide menjadi rancu ketika penduduk lokal selaku pengemong pura terusik karsa dan rasanya untuk ikut mengantarkan wisatawan di lingkungan pura. Masalah yang muncul ketika penduduk lokal siap mengantarkan wisatawan sampai utama mandala hanya diantar oleh penduduk lokal pura tersebut dengan tarif tertentu.
Dipaparkannya, guide sudah menyampaikan informasi kesakralan pura. Ini dengan menginformasikan wisatawan hanya boleh masuk ke kawasan madya mandala. Sementara penduduk lokal memberikan memberikan peluang mereka untuk sampai ke kawasan utama mandala. Ini menjadi sumber kerancuan aturan dan informasi oleh guide yang bisa memalukan pariwisata Bali.
Lebih lanjut dikatakannya, pengumuman di depan pura melarang yang sedang datang bulan (menstruasi) masuk ke areal pura. Kesebelan  melandaskan seseorang menstruasi tidak boleh masuk itu merupakan rasa dan keyakinan. Tatkala mengalami menstruasi tetap masuk ke pura, masyarakat Bali meyakini hukum karma.
Ketika wisatawan membohongi dirinya sendiri dan membohongi Tuhannya untuk masuk ke lingkungan pura, merekalah yang akan mendapatkan karmanya. Masyarakat penjaga atau pengempon pura tentunya tidak mungkin akan memeriksa kalau wisatawan (wanita) dalam kondisi menstruasi. (kup)

Berita Terkait
- Advertisment -

Berita Populer