BISNISBALI.com – Kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai tahun depan mendapatkan perhatian pemerhati ekonomi. Apalagi, kondisi saat ini juga dibayangi defisit APBD di Bali. Dibayangi wacana kenaikan PPN akan mempengaruhi daya beli masyarakat dengan proyeksi kenaikan harga makanan dan minuman.
Menyikapi kondisi tersebut pemerhati ekonomi Viraguna Bagoes Oka di Denpasar, Jumat (22/11) menerangkan, berdasarkan perkembangan ekonomi Bali pasca pandemi dan perkembangan lanjutan sampai dengan akhir November 2024 , defisit APBD Bali dengan anggaran Rp6,9 triliun tahun 2024 diperkirakan akan meningkat tajam defisitnya pada 2025 jika pemimpin Bali terpilih tidak mampu merobah mindset dan pola pikir pengelolaan APBD Bali secara fundamental yaitu dari mindset “ traditional” berbasis pendapatan daerah sesuai kemampuan yang ada (as it is) ke mindset “progressive” berbasis entrepreneurship oriented.
Viraguna yang pernah menjabat Kepala Bank Indonesia Bali-Nusra periode 2007 – 2010 ini menyampaikan, kemandirian sumber dana APBD Bali adalah suatu keharusan untuk diwujudkan tanpa lagi tergantung dengan DAU kucuran dari pusat yang mengakibatkan ketergantungan dari uluran tangan dari APBN pemerintah pusat yang sangat tinggi. Sementara, pemerintah pusat sedang menghadapi kesulitan besar untuk membiayai program-program terkait makan gratis bagi anak sekolah dan beban cicilan utang.
Belum lagi, kata VBO biasa ia disapa, beban PPN naik menjadi 12 persen mulai awal Jnauari 2025 mendatang. Kalau tidak diimbangi dengan tambahan sumber dana mandiri bagi APBD Bali yang peluangnya cukup besar dari 3 pilar utama pemasukan atas Kewenangan Khusus bagi Bali (Kewenangan Pengelolaan Bandara, Kewenangan Investasi masuk Bali dan Kewenangan Pungutan Visa On Arrival) yang potensi pemasukan bagi APBD Bali minimal sebesar Rp12 triliun per tahun.
Sebelumnya Dekan FEB Undiknas University, Prof. Dr. IB Raka Suardana menilai Pemprov Bali memproyeksikan defisit APBD pada tahun 2025. Tentu hal itu dapat mempengaruhi alokasi dana untuk infrastruktur dan program pendukung sektor usaha.
Dari sisi persaingan bisnis, Bali memiliki persaingan bisnis yang ketat, terutama di sektor pariwisata dan perhotelan. Untuk itu, Prof. Raka Suardana berharap pengusaha perlu berinovasi dan meningkatkan kualitas layanan untuk tetap kompetitif.
“Tapi bagi para pèbisnis (pengusaha) yang tidak mengandalkan proyek pemerintah, jika situasi kondusif tetap terjaga dan pariwisata tak terganggu, maka perekonomian Bali akan tetap tumbuh, bahkan bisa melebihi pertumbuhan ekonomi nasional,” terangnya.
Begitupula terkait kenaikan PPN menjadi 12 persen yang akan mulai berlaku awal 2025 mendatang. Menurutnya itu dapat menjadi hambatan serius bagi perekonomian Bali, terutama sektor pariwisata yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah.
Kenaikan ini berpotensi meningkatkan harga layanan sepert biaya akomodasi, makanan, dan layanan wisata lainnya kemungkinan akan naik, yang dapat mengurangi minat wisatawan. PPN adalah pajak konsumsi yang dibebankan pada setiap transaksi barang dan jasa. Dengan kenaikan ini, harga barang otomatis naik, sehingga daya beli masyarakat akan terganggu. Konsumen akan lebih selektif dalam membelanjakan uang mereka. “Kondisi ini bisa pula dapat menurunkan daya beli,” ujarnya. Ia menambahkan kebijakan ini akan memberikan tekanan signifikan pada konsumen dan sektor bisnis.*dik