Perkuat Pemasaran Produk Pertanian Bali, Dinilai Perlu Perda Baru

Untuk memperkuat pemasaran dan pemanfaatan produk pertanian lokal Bali dinilai perlu adanya Peraturan Daerah (Perda) baru.

62
Agung Bagus Pratiksa Linggih

Denpasar (bisnisbali.com) –Untuk memperkuat pemasaran dan pemanfaatan produk pertanian lokal Bali dinilai perlu adanya Peraturan Daerah (Perda) baru. Dengan adanya Perda baru nantinya dapat menyempurnakan Pergub Bali Nomor 99 Tahun 2018.

Seperti diketahui, Bali telah memiliki Peraturan Gubernur Bali Nomor 99 Tahun 2018. Namun regulasi tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan, dan Industri Lokal Bali itu masih memiliki celah dalam penegakan hukumnya.

Ketua Komisi II DPRD Bali, Agung Bagus Pratiksa Linggih mengusulkan Perda baru ini akan memuat beberapa hal. Pertama, mewajibkan 80 persen hasil pertanian, peternakan, perikanan maupun produk lokal Bali diserap pelaku usaha pariwisata khususnya hotel berbintang maupun restoran dan cafe.

Selanjutnya, Perda ini akan memuat sanksi tegas bagi yang tidak menggunakan produk lokal Bali. Penerapan sanksi dan implementasi harga akan dipantau satgas khusus, yang terbentuk, sebagai tindak lanjut dari keberadaan Perda baru itu.

Ia yang juga Ketua Umum BPD Hipunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bali ini menjelaskan, Perda ini kemudian diikuti dengan pembentukan Perusahaan Daerah (Perusda). Perusda baru tersebut berperan untuk menyerap hasil bumi di Pulau Dewata.

“Perusda ini juga bertugas mendistribusikan seluruh produk lokal Bali ke pelaku usaha,” ujarnya.

Ia yang akrab dipanggil Ajus Linggih ini pun meyakini, Perda baru ini bakal memiliki banyak manfaat. Di antaranya, meningkatkan kesejahteraan petani, peternak dan nelayan Bali.Perda ini juga dapat mengurangi kebocoran ekonomi Bali. Selain itu, Perda baru ini dapat mengotimalkan serapan hasil bumi Bali oleh industri pariwisata. Ia pun meyakini peraturan daerah ini juga dapat mengurangi alih fungsi lahan pertanian menjadi hotel maupun villa.

Ia tidak memungkiri, alih fungsi lahan sebagai masalah nyata bagi Bali. Kondisi itu dipicu keengganan masyarakat menggarap lahan pertanian.“Perkembangan indeks nilai tukar petani yang turun terus, menjadi penyebab masyarakat berpikir lebih menguntungkan menjual lahannya ketimbang menggarap lahan itu,” paparnya.

Kondisi ini mengakibatkan produksi beras di Indonesia termasuk di Bali terjun bebas sejak tahun 2014.Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) Bali menyebutkan Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Bali tercatat 98,36 pada bulan September 2024, naik setinggi 0,06 persen dibandingkan kondisi bulan sebelumnya yang tercatat 98,30. Kenaikan ini dipengaruhi oleh peningkatan indeks yang diterima petani (It) sebesar 0,18 persen dari 119,27 menjadi 119,48 pada bulan September 2024, lebih besar dari kenaikan indeks yang dibayar petani (Ib) yang tercatat setinggi 0,12 persen dibandingkan bulan sebelumnya, dari 121,33 menjadi 121,47 pada bulan September 2024.

Indeks NTP Provinsi Bali pada bulan September 2024 berada di bawah angka 100. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam peningkatan tertentu nilai tukar produk yang dihasilkan petani belum mampu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga petani, yang terdiri dari konsumsi rumah tangga dan biaya produksi pertanian.*dik