BISNISBALI.com – Pemerintah mengkaji opsi perpanjangan restrukturisasi kredit terdampak COVID-19 hanya untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai kelompok kelas menengah ke bawah lebih membutuhkan perpanjangan restrukturisasi kredit tersebut.
“Ini sedang kita kaji dalam kebijakan KUR. Tadinya kan kita buat kelas menengah, tetapi kelihatannya kelas menengah ke bawah,” kata Airlangga.
Menurutnya, dilansir dari antara di Denpasar, Jumat (12/7), sektor perbankan saat ini masih mampu bertahan apabila menghadapi kemungkinan dicabutnya kebijakan restrukturisasi kredit tersebut. “Ini perbankan merasa cukup resiliens sehingga tentu kita lihat yang (restrukturisasi kredit) KUR secara spesifik,” ujarnya.
Ia menjadikan sektor asuransi sebagai salah satu indikatornya. Jika ada kenaikan asuransi kredit, maka hal tersebut menjadi indikator meningkatnya risiko kredit. “Ya kita akan melihat dari sisi KUR karena ada permintaan dari asuransi untuk meningkatkan jumlah cadangannya,” terang Airlangga.
Kendati demikian, keputusan akhir perpanjangan restrukturisasi kredit terdampak COVID-19 masih belum diputuskan. Airlangga menilai masih diperlukan pengkajian lebih lanjut.
Adapun Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar sebelumnya menyatakan akan mendalami arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal perpanjangan kebijakan stimulus restrukturisasi kredit COVID-19 hingga 2025.
“Kami akan dalami, lakukan evaluasinya, baik terkait dengan yang sudah diselesaikan pada Maret lalu maupun terhadap potensi keterbatasan pertumbuhan kredit di segmen tertentu,” kata Mahendra.
Kebijakan restrukturisasi kredit COVID-19 diberlakukan sejak Maret 2020 dan berakhir pada 31 Maret 2024. Mahendra menyebut OJK telah mempertimbangkan berbagai aspek saat memutuskan untuk mengakhiri kebijakan tersebut, seperti dampak, kecukupan modal, pencadangan atau cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN), likuiditas dan kapasitas untuk pertumbuhan kredit.
Di samping itu, OJK melihat pertumbuhan kredit pada tahun ini membaik bila dibandingkan kinerja tahun lalu. “Jadi, kalau dari segi itu, sebenarnya yang terjadi pada akhir Maret maupun setelahnya, tidak ada yang anomali. Tapi, di lain pihak, kami paham bahwa ada perhatian khusus terhadap potensi pertumbuhan kredit di segmen tertentu,” ujar dia.
Mahendra menambahkan, jumlah sisa kredit restrukturisasi COVID-19 terus menunjukkan tren penurunan sejak kebijakan tersebut berakhir pada Maret 2024. Berdasarkan data OJK, sisa kredit restrukturisasi COVID-19 pada Mei 2024 tercatat sebesar Rp192,52 triliun. Jumlah tersebut menurun jika dibandingkan April 2024 yang sebesar 207,40 triliun dan Rp372,07 triliun pada Mei tahun lalu.
“Dengan pembagian bahwa jumlah restrukturisasi yang sifatnya targeted yaitu Rp72,7 triliun dan jumlah restrukturisasi secara menyeluruh untuk COVID-19 itu Rp119,8 triliun, sehingga jumlah totalnya Rp192,52 triliun,” paparnya.
Mahendra mengatakan, sisa kredit restrukturisasi COVID-19 per Mei 2024 juga jauh lebih kecil dibandingkan pada periode puncaknya untuk kebutuhan restrukturisasi yang terjadi pada Oktober 2020 yang sebesar Rp820 triliun. Jumlah debitur, juga terus menurun menjadi di kisaran 702 ribu nasabah dibandingkan pada periode puncaknya yang sebesar 6,8 juta nasabah atau mendekati 7 juta nasabah. Dengan kata lain, jumlah debitur menurun hampir 10 kali lipat. *rah