Tabanan (bisnisbali.com)-Harga kakao atau cokelat melambung tinggi di tingkat petani Kabupaten Tabanan saat ini. Terbaru, kakao kualitas nonfermentasi sudah mencapai Rp53.000 per kilogram (kg). Harga tersebut hampir menyaingi kakao kualitas fermentasi (biji kakao bermutu bagus) yang berada di level Rp60.000 per kilogram.
Ketua Koperasi Produsen Manik Amerta Buana di Desa Megati, Kecamatan Selemadeg Timur, I Nyoman Suparman, Senin (30/10), mengungkapkan harga kakao mengalami lonjakan di tingkat petani sejak Agustus 2023 lalu. Lonjakan harga salah satu komoditas ekspor ini terjadi secara bertahap. Posisi awalnya sebesar Rp37.000 per kilogram untuk kualitas nonfermentasi, sedangkan kualitas fermentasi melonjak Rp5.000 dari posisi Rp55.000 per kilogram sebelumnya.
“Selisih harga antara kakao nonfermentasi dan fermentasi sangat tipis sekarang. Jadi, kami tidak bisa mengarahkan petani kakao untuk bisa menghasilkan produksi kualitas fermentasi. Ditambah lagi pembeli tidak bisa menaikkan harga pembelian kualitas fermentasi,” tuturnya.
Menurutnya, melonjaknya harga saat ini menguntungkan sejumlah petani kakao. Akan tetapi itu berlaku bagi petani yang memang rutin melakukan perawatan seperti memupuk tanaman kakao menggunakan pupuk organik. Jadi, di tengah musim kemarau sekarang ini, mereka masih bisa mengantongi produksi kakao.
Suparman menjelaskan, lonjakan harga kakao di petani dipicu dampak kemarau panjang yang membuat produksi menurun tajam tahun ini. Ia memprediksi per pohon kakao rata-rata mengalami penurunan produksi hingga 75 persen dari biasanya. Tidak itu saja, kemarau juga membuat biji yang dihasilkan menjadi kecil-kecil.
“Tahun ini awalnya kami prediksi bisa mendapat 4 ton dari produksi anggota petani kakao. Namun, kenyataan sampai kini kami baru menerima 1,5 ton biji fermentasi dan 1 ton kakao biji non fermentasi. Sangat jauh menurun,” ujarnya.
Kemarau dan kekeringan telah membuat sejumlah tanaman kakao menjadi layu. Selain itu, di bagian pembungaan yang menjadi cikal bakal buah kakao mengalami kerontokan di beberapa tanaman. Ditambah lagi ada serangan hama helopeltis dan penggerek buah kakao (PBK) yang intensitasnya meningkat pada bagian buah. “Intensitas serangan hama PBK meningkat. Petani tidak bisa berbuat banyak atas kondisi alam yang ekstrem ini,” kilahnya.
Sementara itu di tengah turunnya produksi kakao, permintaan pasar akan komoditas ekspor ini cukup tinggi. Permintaan datang dari kalangan industri kecil pengolahan cokelat di tingkat lokal dan pasar ekspor. ”Hanya, permintaan pasar yang tinggi belum bisa dipenuhi dengan baik akibat dampak kemarau panjang,” pungkas Suparman. *man