Denpasar (bisnisbali.com) –Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menilai ada tantangan pertanian yang dihadapi di akhir masa jabatan Presiden Jokowi. Tantangan tersebut di antaranya, masalah pupuk harus segera diselesaikan karena bulan Februari-Juni 2024 terjadi panen raya padi di berbagai daerah sentra produsen.
“Saat ini pun beberapa komoditas seperti jagung membutuhkan dukungan ketersediaan dari pupuk bersubsidi dalam jumlah yang besar,” katanya kepada Bisnis Bali, Rabu (25/10).
Tantangan selanjutnya, memastikan pemberantasan korupsi di semua lini Kementerian Pertanian. Korupsi membuat bantuan pertanian tidak efektif, kurang tepat sasaran dan jelas merugikan petani sekaligus APBN.
“Jangan ulangi kesalahan Menteri Pertanian sebelumnya yang terjerat korupsi. Mentan diminta untuk mengaktifkan whistle blower system untuk membongkar sisa-sisa korupsi di internal,” ucapnya.
Kemudian, terus berkoordinasi dengan Kementerian PUPR dan Kementerian BUMN untuk mempercepat infrastruktur pertanian terutama perbaikan sarana irigasi, bendungan dan gudang penyimpanan pangan di berbagai daerah. Termasuk, mengurai benang kusut program Food Estate dan Reforma Agraria sehingga optimalisasi lahan pertanian berkorelasi dengan naiknya produksi pangan, peningkatan ekspor produk agrikultur, dan mencegah deforestasi.
Bhima juga menekankan tantangan lainnya yaitu regenerasi petani menjadi tantangan yang fundamental. Sektor pertanian makin dijauhi oleh tenaga kerja usia produktif. Kuncinya adalah pemberian dukungan teknis, jaringan pasar dan digitalisasi di sektor pertanian.
“Libatkan perguruan tinggi dan lembaga penelitian pertanian dalam memecahkan berbagai masalah. Salah satunya dalam riset bibit unggul tahan cuaca ekstrem dan berbagai penelitian lainnya yang tepat guna,” sarannya.
Kepala Badan Pangan Nasional sebagai koordinator utama masalah pangan perlu tegas terhadap Menteri yang tidak memiliki kinerja yang baik dalam mengendalikan hulu pertanian. Jangan segan untuk menegur, bahkan melaporkan ke Presiden apabila ada Menteri yang setengah hati dalam mendorong produksi pertanian.
Praktisi ekonomi ini pun mengungkapkan Pemilihan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman sangat disayangkan. Selama Amran menjabat sebagai Menteri Pertanian periode 2014-2019 terdapat banyak permasalahan yang sulit dilupakan. Pada tahun 2018, impor beras tercatat 2,2 juta ton dari tahun sebelumnya 305 ribu ton. Kenaikan impor beras yang cukup tajam jelang Pemilu 2019 menimbulkan pertanyaan terkait program kemandirian pangan pemerintah. Erat kaitannya juga dengan rente di sektor pangan.
Bahkan saat itu Kementerian Pertanian selalu berkilah adanya impor beras untuk kebutuhan beras premium. Kondisi tersebut sangat disayangkan, karena dikhawatirkan posisi Menteri Pertanian yang baru akan mengulangi masalah yang sama.
Bhima menilai selain masalah impor beras, terjadi lonjakan impor gula sejak Amran menjabat Menteri Pertanian di era pemerintahan Jokowi yang pertama. Impor gula menyentuh 4,6 juta ton dengan nilai 1,7 juta USD.
“Bukan angka yang kecil. Apakah ada perubahan gaya Menteri Pertanian soal pengendalian impor gula? Ini masih dipertanyakan,” paparnya.
Pada saat Menteri Pertanian di pimpin Amran Sulaiman kala itu, masalah pendataan sangat buruk. Ada ego untuk memiliki data produksi pertanian masing-masing, jadi tidak akur antar kementerian dan BPS. Diharapkan masalah integrasi data bisa selesai dengan hadirnya Badan Pangan Nasional. Kementerian Pertanian harus tunduk pada data yang valid, tidak boleh mencari data sendiri untuk pembenaran kinerja programnya.
Dari segi anggaran, tidak bisa banyak berharap, masa Jabatan Menteri Pertanian efektif kurang dari 1 tahun. Sementara anggaran Ketahanan Pangan sudah disahkan dalam APBN 2024. Jadi Menteri Pertanian sulit memberikan perubahan kebijakan terkait pertanian. Apa anggaran subsidi pupuk Rp26 triliun di 2024 bisa naik tajam? Hampir mustahil kendati masalah saat ini selain kekeringan adalah masalah distribusi pupuk. *dik