Di Era Digitalisasi, Bali Perlu Tambahan  ’’Entrepreneur” Baru

Ketua Umum Badan Pengurus Daerah (BPD) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bali, Agus Pande Widura menilai, di era digitalisasi serta pesatnya arus informasi dan komunikasi saat ini, Indonesia maupun Bali perlu menambah jumlah entrepreneurnya.

218
Ketua Umum BPD HIPMI Bali, Agus Pande Widura

Denpasar (bisnisbali.com) –Ketua Umum Badan Pengurus Daerah (BPD) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bali, Agus Pande Widura menilai, di era digitalisasi serta pesatnya arus informasi dan komunikasi saat ini, Indonesia maupun Bali perlu menambah jumlah entrepreneurnya. Dibandingkan dengan jumlah penduduk di dalam negeri, jumlah pengusaha atau entrepreneur masih kurang sehingga jiwa-jiwa kewirausahaan harus terus ditumbuhkan.

“Ancaman digitalisasi terhadap pengusaha-pengusaha di dalam negeri tidak bisa terhindari. Digitalisasi suka tidak suka harus dihadapi bersama. Oleh karena itu Hipmi Bali mengimbau kepada anggota harus menambah lagi entrepreneur-entrepreneur baru agar sesuai dengan road map menuju Indonesia Maju pada 2045.,” katanya di Denpasar, Minggu (8/10).

Menurutnya, ini bukan berarti harus melawan gempuran digitalisasi namun bisa mengikuti alur digitalisasi tersebut serta menambah entrepreneur yang paham digitalisasi. Sebab cepat atau lambat digitalisasi tidak bisa dibendung. Bagaiamana dari bisnis konvensional itu diubah menjadi bisnis digitalisasi.

Agus Pande menyebutkan saat ini di Indonesia dengan 270 juta penduduk, masih memiliki entrepreneur di angka 2,7 persen. Jumlah itu jauh di bawah dibandingkan negara maju seperti Singapura dan Malaysia. Di Singapura contohnya, pengusaha sudah hampir di 6 persen bahkan hampir 7 persen dari jumlah penduduknya.

“Saya memiliki satu mimpi dengan 270 juta penduduk, tidak perlu 7 persen, bisa memiliki entrepreneur di angka 4 persen sampai 5 persen saja, saya rasa Indonesia akan cepat menjadi negara maju,” ujarnya.

Apalagi seperti saat ini, Indonesia di tahun emasnya di 2045 akan mengalami bonus demografi yang artinya penduduk produktif akan lebih banyak daripada nonproduktif. Jadi ini harus betul-betul bisa dikelola dengan baik agar tidak menjadi bumerang nanti ke depannya. Bila tidak bisa menambah jumlah entrepreneur, ia menilai, tentu dikhawatirkan terjadi pengangguran yang cukup tinggi di 2045.

Tetapi bila bisa memaksimalkan keadaan tersebut maka ia yakin Indonesia (banyak entrepreneur-nya, pengusahanya bertambah, penyerapan tenaga kerjanya tinggi dan berkualitas), maka Indonesia akan menjadi negara maju, bisa mengalahkan negara-negara tetangga.

Begitupula di Bali. Menurut Agus Pande yang sebelumnya menjabat Ketua DPD REI Bali ini, Hipmi Bali menargetkan setiap kota yang dulunya rata-rata 15-20 pengusaha, kini meminta kepada Ketua Hipmi kabupaten/kota bisa menambah minimal 200-300 persen pengusaha dari jumlah yang dimiliki mereka.

“Ini sudah dibuktikan seperti di Badung Tabanan maupun Gianyar, itu sudah terjadi penambahan yang cukup signifikan untuk pengusaha-pengusaha baru,” jelasnya.

Hipmi saat ini tidak hanya melihat pengusaha besar atau sedang atau kecil, semua pengusaha memiliki peluang dan kesempatan yang sama, apabila bisa bersama-sama berkolaborasi untuk membangun negeri.

Agus Pande pun mengungkapkan, entrepreneur di Bali masih dominan dari kantong-kantong pariwisata. Satu sisi sebenarnya banyak peluang lain yang bisa dijajaki di Bali. Di sisi hasil pertanian misalnya, juga lumayan tinggi peluangnya. Namun sayangnya banyak pengusaha di pertanian  yang langsung menjual komoditasnya pertaniannya atau pun perkebunannya secara langsung.

Harapan Hipmi, harus ada suatu hilirisasi. Artinya jangan serta-merta suatu produksi dari pertanian langsung dijual melainkan bisa diolah kembali. Pengolahan itu bisa memanfaatkan digitalisasi untuk marketing ke seluruh dunias sehingga bisa meningkatkan penjualan dibandingkan menjual langsung tanpa diolah.

Ia mengambil contoh, yang paling simple atau mudah adalah kopi Bali. Kadang-kadang kopi langsung dijual bijiannya keluar negeri. Bila kopi bisa dikemas dengan kemasan yang menarik dan dimarketingkan keluar bisa memiliki nilai lebih tinggi.

Contoh Swiss yang memiliki nama terkenal karena hasil dari cokelatnya dan bisa menjadi penjual coklat nomor satu di dunia. Bali juga punya potensi itu dengan digitalisasi, kopi bisa seperti Swiss. *dik