Denpasar (bisnisbali.com) – Pemerintah menerapkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Ini pula melatari platform social commerce seperti TikTok tidak boleh boleh lagi menggabungkan layanan e-commerce dan social media dalam satu platform.
Dalam upaya melindungi UMKM serta menjaga persaingan usaha yang sehat dalam era digitalisasi ini, pemerhati ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Undiknas University, Agus Fredy Maradona, Ph.D., CA. di Denpasar, Kamis (5/10) mengatakan, ada polemik platform digital yang awalnya merupakan platform media sosial tapi juga digunakan untuk transaksi perdagangan. Pihaknya pun memahami keputusan yang ditempuh pemerintah didasarkan pada regulasi, bahwa media sosial itu memang izinnya adalah media sosial untuk komunikasi, sosialisasi dan lain sebagainya. Sementara aplikasi untuk perdagangan jual beli itu adalah e-commerce.
“Jadi kalau memang sudah ada regulasi yang seperti itu, menurut saya, tinggal dilaksanakan. Media sosial itu tentu fokusnya merupakan media yang memfasilitasi aktivitas sosial masyarakat di dunia digital, sementara e-commerce adalah memfasilitas perdagangan secara elektronis,” katanya.
Kendati demikian, ia menilai, masalah utamanya bukan di sana. Menurutnya yang menjadi permasalahan utama itu bukan medianya aplikasinya seperti apa. Sebab, berbicara mengenai UMKM yang jauh lebih penting itu adalah perlindungan terhadap UMKM dalam negeri.
Agus Maradona merasa salah satu kekhawatiran yang menjadi alasan TikTok shop diminta untuk berhenti melaksanakan kegiatan sosial ecommerce karena harga yang ditenggarai lebih murah dan barang-barang yang murah itu adalah barang-barang impor.
“Jika memang seperti itu maka saya lebih menitikberatkan kepada perlindungan terhadap pengusaha dalam negeri, pelaku UMKM dalam negeri. Perlindungan dari serbuan produk-produk impor,” ujarnya.
Maradona yang juga lulusan Macquarie University, Sydney Australia ini mempertanyakan, produk impor yang masuk ke Indonesia ini kenapa bisa dijual murah oleh pedagang melalu media apa pun (sosial ecommerce atau lain e-commerce lai). Apakah barang-barang tersebut ketika masuk ke Indonesia melalui impor sudah mengikuti ketentuan dalam bidang impor? Karena untuk impor barang tidak bisa semudah itu. Ada bea masuk yang harus dilunasi kemudian ada PPN atas impor.
Kemudian, misalkan barang dibawa sendiri orang saat berpergian ke luar negeri lalu membawa sendiri ke Indonesia, ketika datang tentu ada ketentuan yang dibebankan dari biaya masuk. Termasuk, barang di atas jumlah tertentu itu ketika masuk dikenakan pajak kemudian PPN dan PPh. “Apakah semua hal itu sudah diikuti aturannya,” tanyanya.
Jadi dalam hal ini, Agus Maradona berharap, pemerintah lebih intensif dalam menegakkan ketentuan ini. Para pelaku usaha pun sebaiknya juga sandar bahwa untuk mengimpor barang itu ada kewajiban-kewajiban yang harus diikuti. Sebab di negara mana pun itu, bukan hanya Indonesia, negara manapun itu, pasti akan melindungi pelaku usaha dalam negerinya apalagi jika berbicara mengenai UMKM.
Ia pun menjelaskan bila permasalahan selanjutnya adalah harga di mana pelaku UMKM lokal merasa mereka itu sulit bersaing dalam hal harga dengan produk impor? Jawabannya, ini yang mesti diselidiki, apa yang menyebabkan harga produk yang diproduksi oleh pelaku UMKM di Indonesia itu tidak kompetitif. Apakah kualitas atau mungkin biaya produksi atau biaya perdagangan, biaya usaha yang tinggi di Indonesia. Bila itu benar maka harus dicarikan solusi baik oleh perilaku UMKM sendiri atau pemerintah.
“Pemerintah saya yakin memiliki sejumlah instrumen untuk memberikan insentif kepada pelaku UMKM baik itu insentif perpajakan maupun permodalan lewat KUR. Intinya ini perlu dibirakan secara bersama. Tidak cukup hanya menutup fasilitas sosial e-commerce karena tidak akan menghentikan pedagang itu untuk menjual produk impor,” paparnya.
Yang jelas, skema perdagangan elektronis yang diterapkan di Indonesia, jangan sampai mengakibatkan ada kerugian bagi pihak lain. Termasuk terkait kegiatan usaha perdagangan secara elektrolis seperti e-commerce di tengah perkembangan teknologi saat ini. Ke depannya, e-commerce itu akan semakin masif dan para pelaku usaha perdagangan yang konvensional pasti sudah memikirkan hal itu. Sebab banyak usaha konvensional yang juga memiliki toko online dan itu ke depan akan semakin masif dan berjalan dalam koridor regulasi yang berlaku. *dik