Denpasar (bisnisbali.com) – Deflasi merupakan fenomena penurunan harga yang ada di dalam suatu wilayah. Kendati demikian untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, deflasi diharapkan tidak berlangsung panjang.
Seperti diketahui BPS Bali mencatat pada September 2023, perkembangan harga berbagai komoditas (barang dan jasa) konsumsi di Provinsi Bali yang diwakili Kota Denpasar dan Kota Singaraja secara umum menunjukkan adanya penurunan atau tercatat deflasi sedalam 0,03 persen yang ditunjukkan dengan penurunan Indeks Harga Konsumen IHK dari 115,19 pada Agustus 2023 menjadi 115,15 pada September 2023.
Komoditas yang tercatat mengalami penurunan harga atau memberikan sumbangan deflasi pada September 2023 antara lain bawang merah, cabai rawit, daging ayam ras, mangga, bawang putih, kacang panjang, tomat, angkutan udara, angkutan antar kota, dan ikan tongkol/ ikan ambu-ambu.
Sementara itu, komoditas yang tercatat mengalami kenaikan harga atau menahan laju deflasi dengan memberikan sumbangan positif, antara lain beras, bensin, semangka, cabai merah, pepaya, biaya pulsa ponsel, apel, rokok kretek filter, jam tangan, dan shampo.
Terkait kondisi tersebut pemerhati ekonomi yang juga Rektor Undiknas University, Prof. Dr. Ir Nyoman Sri Subawa di Denpasar, Selasa (3/10) menyampaikan, deflasi yang terjadi saat ini perlu dicermati produk apa saja menimbulkan deflasi itu terjadi. Biasanya yang paling besar pengaruhnya adalah barang-barang konsumtif contohnya makanan.
Menurutnya bila terjadi deflasi atau harga mengalami penurunan berarti produksi tersebut terlalu banyak, tinggi sekali atau seragam, sehingga barang tersebut dijual dengan harga murah agar tidak mubasir dan segera dikonsumsi oleh masyarakat.
Untuk itu, kata dia, bagaimana produksi barang ini diatur sedemikian rupa sesuai kebutuhan masyarakat, jumlah konsumsi sehingga distribusi barang bisa berlangsung dengan baik, tidak berlebihan terhadap barang atau produk tertentu .
Solusi kedua, bila produksi banyak bisa dikirim atau ekspor ke negara tujuan serta melakukan pengiriman ke daerah untuk mencapai kestabilan harga. “Kestabilan harga sederhananya, bagaimana barang ini dikonsumsi dengan baik, kebutuhan masyarakat tercukupi dan bisa dibawa ke daerah lain,” paparnya.
Dampak deflasi sendiri, kata Prof. Sri Subawa, terjadi bila harga dijual murah. Kondisi ini tentu bagi para petani yang memperoduksi bahan pokok akan mengalami pengurangan keuntungan yang didapat atau tidak sebanding dengan kerja yang dilakukan mereka. Termasuk bagi produsen. Kini bagaimana cara mengatur produksi dan distribusi barang sebaik-baiknya supaya pengiriman lancar.
Termasuk meningkatkan daya beli masyarakat karena daya beli masyarakat penting. Ia pun berharap deflasi tidak berlangsung lama karena akan mempengaruhi produksi yang dihasilkan. “Triwulan ini Bali mengalami ke depannya berharap deflasi tidak terjadi kontinyu di triwulan berikutnya,” harapnya.
Pemerhati ekonomi lainnya, Kusumayani, M.M. menilai deflasi yang berlangsung lama tentu juga memiliki dampak buruk untuk perekonomian suatu negara. Misalnya, harga suatu produk mengalami penurunan, hal ini akan berdampak pada omzet yang diperoleh oleh perusahaan. Karenanya deflasi yang terjadi secara terus menerus bisa merugikan aktivitas jual beli. Penurunan harga barang dan jasa seringkali membuat produsen atau penyedia jasa mengalami kerugian karena penjualan tak mampu menutup biaya produksi maupun biaya operasional. Untuk itu pemerintah perlu melakukan upaya agar deflasi tidak berlangsung lama.*dik