Denpasar (bisnisbali.com) – Harga beras di pasaran terus merangkak naik dalam beberapa bulan terakhir. Keadaan ini diperkirakan terus berlangsung sebagai salah satu dampak dari fenomena El Nino yang rentan memicu laju inflasi.
Menyikapi kondisi tersebut, Kepala Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Bali, R. Erwin Soeriadimadja di Denpasar menyampaikan, pihaknya optimis inflasi di Pulau Bali tetap terkendali.
Menurutnya, meski terdapat tekanan kenaikan harga beras karena faktor musiman, namun harga komoditas pangan lain relatif stabil dan beberapa mengalami penurunan pada September 2023, seperti cabai rawit, bawang merah, telur ayam ras, dan bawang putih.
“Sejalan dengan program pengendalian harga yang dilakukan oleh Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah, Bank Indonesia optimis inflasi Bali sampai dengan akhir tahun 2023 dapat terkendali dan berada pada range target inflasi nasional sebesar 3±1%,” katanya.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Bali, Endang Retno Sri Subiyandani menyebutkan pada Agustus 2023, perkembangan harga berbagai komoditas (barang dan jasa) konsumsi di Provinsi Bali yang diwakili Kota Denpasar dan Kota Singaraja secara umum menunjukkan adanya kenaikan. Berdasarkan hasil pemantauan perkembangan harga barang dan jasa di dua kota tersebut, pada Agustus 2023 tercatat inflasi setinggi 0,23 persen yang ditunjukkan dengan peningkatan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 114,93 pada Juli 2023 menjadi 115,19 pada Agustus 2023.
Sementara itu, tingkat inflasi tahun kalender (year to date/ytd) Agustus 2023 sebesar 1,71 persen. Tingkat inflasi tahun ke tahun (Agustus 2023 terhadap Agustus 2022 atau yoy) tercatat setinggi 2,99 persen. “Inflasi terjadi karena kenaikan harga barang/jasa konsumsi masyarakat yang ditunjukkan oleh naiknya IHK pada tujuh kelompok pengeluaran,” katanya.
Tujuh kelompok pengeluaran itu yaitu kelompok pendidikan setinggi 2,27 persen, kelompok kesehatan setinggi 0,48 persen, kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya setinggi 0,46 persen. Kemudian, kelompok makanan, minuman dan tembakau setinggi 0,42 persen, kelompok perlengkapan, peralatan dan pemeliharaan rutin rumah tangga setinggi 0,36 persen, kelompok rekreasi, olahraga dan budaya setinggi 0,29 persen dan kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran setinggi 0,15 persen.
Sementara pemerhati ekonomi Bhima Yudhistira menegaskan, kondisi saat ini perlu diwaspadai mengingat El Nino diproyeksikan akan mempengaruhi kondisi perekonomian maupun sektor pertanian dalam negeri.
Dapat mempengaruhi sektor ekonomi inilah, El Nino perlu diwaspadai karena bisa berdampak signifikan terhadap stok pangan di dalam negeri. “Ini juga akan berimbas kepada kenaikan inflasi,” katanya.
Berdasarkan historisnya fenomena El Nino menyebabkan inflasi harga pangan bergejolak (volatile food). Pada 2015 misalnya, fenomena El Nino menyebabkan inflasi harga pangan bergejolak (volatile food) mencapai 4,84 persen year on year. Sementara di pada Januari 2016, inflasi harga pangan bergejolak menembus 6,77 persen year on year. Padahal Januari awal tahun biasanya inflasi cenderung rendah, tapi El Nino sebabkan anomali di awal 2016.
Dengan kondisi inflasi pada 2023 diperkirakan berkisar 4,5 persen – 5 persen, kondisi El Nino bisa memperburuk ekspektasi inflasi. Kekeringan ekstrem harus mulai di mitigasi terutama di kantong penghasil pangan utama. Badan Pangan harus segera bertindak, tentu tidak melulu dengan menambah impor beras. Beberapa daerah yang sedang panen raya gabah mungkin prioritas diserap pemerintah dulu.
“Khawatirnya efek turunan dari naiknya harga pangan bisa menciptakan berbagai dampak negatif, mulai dari kenaikan jumlah rumah tangga miskin hingga pengangguran di sektor pertanian,” terangnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) ini pun menilai inflasi dapat mencapai 5-5,5 persen pada akhir 2023. Sebelumnya, Bank Indonesia telah mentargetkan inflasi 2023 berada pada angka 3 persen plus minus satu persen. *dik