JAKARTA (bisnisbali.com) — Transformasi digital yang saat ini tengah sukses dijalankan oleh PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk tidak lantas membuat perseroan terburu-buru mengubah model operasional dan bisnisnya menjadi fully digital.
Hal tersebut dipaparkan Direktur Utama BRI Sunarso saat media gathering di BRILian Stadium, Jakarta (12/9). Pilihan BRI untuk tidak beralih menjadi fully digital tak lepas karena kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih senang bertransaksi menggunakan uang tunai.
“Bila memang masyarakatnya belum fully digital, ya kita gak bisa mendigitalkan. Maka itu, bila kita fully digital-kan, gak akan jalan,” imbuh Sunarso.
Sunarso pun memberikan bukti masyarakat masih senang bertransaksi menggunakan uang tunai.
“AgenBRILink kita setahun volume transaksinya mencapai Rp1.300-1.400 triliun. Hal ini adalah bukti bahwa masyarakat kita masih banyak yang senang bertransaksi pakai cash dan kemudian lewat agen. Kalau kita fully digital-kan semua, terus mereka siapa yang layani?,” ungkapnya.
Perseroan pun telah memiliki strategi untuk menyasar masyarakat yang masih gemar bertransaksi secara tunai, namun di sisi lain juga dapat terus melayani masyarakat yang sudah gemar bertransaksi secara digital.
“Apa yang kita kerjakan sekarang, itulah yang kita sebut Hybrid Bank Strategy. Dan Hybrid Bank Strategy itu yang paling sederhana adalah agen. Karena agen (BRILink) itu untuk menjawab karakteristik nasabah mikro. Mereka ternyata lebih senang berbank lewat agen daripada langsung datang ke bank,” jelas Sunarso.
Di sisi lain, BRI juga terus memperkuat aplikasi digital banking yang disebut BRImo.
“BRImo sekarang user-nya mencapai 27,8 juta, dan nilai transaksi BRImo sekarang sudah tumbuh 76,3%. Artinya transaksi lewat BRImo itu sudah mencapai Rp1.896 triliun. BRImo bisa kita pakai untuk apa saja. Mulai dari bangun tidur sampe tidur di malam hari. Kebutuhan transaksi bisa dilayani pakai BRImo dengan lebih dari 100 fitur di dalamnya,” imbuhnya. *rah