“Tak dipungkiri mindset untuk apa menyekolahkan anak perempuan tinggi-tinggi itu masih ada di kalangan orangtua.”
Denpasar (bisnisbali.com) – “Untuk apa menyekolahkan anak perempuan tinggi-tinggi.. Toh dia nanti akan menikah dan diambil orang.” Mindset ini tampaknya masih melekat di kalangan orangtua di desa, khususnya Desa Mengening, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng Bali. Kondisi ini menggelitik hati seorang Dr. Komang Anik Sugiani, S.Pd, M.Pd yang bertekad ingin mengubah mindset tersebut.
“Tak dipungkiri mindset untuk apa menyekolahkan anak perempuan tinggi-tinggi itu masih ada di kalangan orangtua. Karena itulah, kasus anak putus sekolah sangat banyak di desa, khususnya Desa Mengening ini,” ungkap Anik Sugiani dalam wawancara secara online bersama media yang dipantau di Denpasar, Selasa (12/9).
Sebagai putri Mengening, ia mengaku miris dengan kondisi tersebut. Karena itulah, ia memutuskan memberikan pendidikan gratis kepada anak-anak di desanya melalui Yayasan Project Jyoti Bali. Atas kontribusinya itu, Komang Anik Sugiani dinobatkan sebagai Penerima Apresiasi Astra tingkat provinsi pada 2021 atas inovasinya dalam ”Agen Of Change, Pembelajaran Gratis Untuk Anak Pedesaan”.
“Bagi saya pendidikan itu tonggak kehidupan. Bagaimana kita bisa berkontribusi untuk bantu masyarakat kurang mampu lewat pendidikan, janganlah dulu jauh-jauh untuk Bangsa dan Negara. Tapi bagaimana bisa berkontribusi bagi tetangga dan lingkungan sekitar lebih dahulu,” tambahnya.
Kondisi banyaknya anak putus sekolah ini tak lepas dari perekonomian warga setempat yang hanya berprofesi sebagai penyakap atau petani penggarap. Karena kondisi ekonomi ini, merembet ke bidang pendidikan, tak banyak warga yang mengeyam pendidikan, kalau pun sempat ujung-ujungnya putus sekolah.
Wanita kelahiran Tajun, 3 Maret 1990 ini menerangkan, Mengening merupakan desa yang berada di wilayah kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. Desa ini merupakan pemekaran dari Desa Tajun pada 2005 yang dikenal kaya dengan cengkihnya. Namun, di Desa Mengening sendiri ia menyebutkan, hanya segelintir warga yang memiliki kebun cengkih.
Ia pun memfokuskan diri pada bidang pendidikan dan menyelesaikan pendidikan S1 Teknologi Pendidikan di Universitas Pendidikan Ganesha, Buleleng, kemudian lanjut S2 Teknologi Pembelajaran di yang sama, dan S3 Teknologi Pembelajaran di Universitas Negeri Malang.
“Saya yakin teknologi akan terus berkembang, demikian juga dengan sistem pembelajaran. Seiring perkembangan zaman, prodi yang saya pilih sangat linier dengan kebutuhan sekarang. Saat pandemi Covid-19 teknologi pembelajaran ini sangat terpakai. Saya pun merasakan dan terlibat langsung dalam penerapan teknologi pembelajaran. Saya juga buat model pembelajaran BALII (Belajar Aktif Literatif Interaktif dan Inovatif). Dari pengalaman, saya mendapatkan gaya mengajar itu beda tiap personal. Hal inilah yang saya terapkan di yayasan dan kontribusikan bagi masyarakat. Untuk apa pendidikan tinggi kalau hanya untuk memperkaya diri sendiri,” paparnya.
Ia menambahkan, yayasan yang dikelolanya memberi pembelajaran gratis untuk anak-anak. Kadang ada yang bayar pakai sampah. Mereka yang datang selain dapat pengetahuan, diajak untuk peduli lingkungan sejak dini.
“Sampah plastik dipilah jadi ecobrick dan bantal. Kardus-kardus bekas juga dibawa ke bank sampah. Selain mendapat uang tunai, bisa ditukar juga dengan alat sekolah atau sembako,” imbuhnya.
Saat ini sekitar 120 anak tercatat di yayasan dan yang aktif 74. Sebanyak 54 anak kurang mampu dari tiga desa. Mereka dari awalnya malu-malu berinteraksi hingga bisa bergaul. Rata-rata siswa yang bergabung dan belajar di yayasan, juara di kelas/sekolah. Ini diceritakan orangtua dan guru. Bahkan orangtua murid rajin mengantar anaknya.
“Kegiatan di yayasan sudah terjadwal, Hari Senin menari, Selasa yoga, Rabu go green and clean, Kamis dan Jumat karate Inkai, Sabtu seni budaya. Untuk karate, kami mendapat dukungan simpai gratis dari Inkai Buleleng. Untuk seni budaya, anak-anak sudah tampil di Taman Bung Karno,” ungkap wanita yang juga menjadi Ketua dan Pendiri Bank Sampah “Sahabat Jyoti” ini.
Kegiatan ini merupakan ladang pengabdian baginya. Yayasan ini menjadi perjalanan hati baginya. Di sini ia tak mencari materi, tapi kebahagiaan. Mendirikan yayasan adalah sebuah pengabdian, tak bisa digantikan uang. Ketika ingin membuat perubahan harus siap berkorban. Proses panjang dan hasilnya akan maksimal. Hasil tidak akan khianati proses.
“Yang terpenting dari yayasan ini adalah perjalanan hati. Banyak yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Gimana rasanya bisa bantu orang, dapat pendidikan, dan dapatkan prestasi. Saya sering nangis di pojokan, karena terharu dengan prestasi anak didik. Bangga rasanya jadi agent of change,” ujarnya dengan mimic wajah terharu.
Dosen Program Studi Teknik Komputer Politeknik Ganesha Guru ini menambahkan, dirinya dan beberapa teman yang sevisi membuat wadah dan kegiatan. Ia tak ingin hanya sekadar berwacana, habis anggaran habis cerita.
“Apa yang kami buat harus berkelanjutan dan berkomitmen. Fokus kami pada pendidikan anak perdesaan, yang jauh dari kota. Kami tak ingin anak-anak tamat SD lalu bekerja jadi IRT. Tamatan sarjana dari desa kami masih terhitung jari. Sangat jomplang sekali dengan keadaan saya yang juga dari desa tapi pendidikan S3. Akhirnya 2016 terwujudlah Yayasan Project Jyoti Bali ini,” ungkap peraih Penghargaan Peringatan Hari Kartini Sebagai Wanita Berprestasi dan Berjasa bidang Lingkungan Hidup dari Organisasi Aksi Solidaritas Era Kabinet Indonesia Maju 2022.
Ditanya tantangan dalam mengelola yayasan pendidikan untuk anak perdesaan ini, ia mengaku kendala terbesar adalah pembiayaan. Anak-anak yang datang belajar ke tempat ini rata-rata tak punya biaya, dan perlu menggugah orang lain.
“Syukurnya sekarang kami sudah memiliki dana yang didapat dari hadiah dari pihak lain, termasuk Astra. Ada juga bantuan CSR, saat berkegiatan ada juga sponsor dan kerjasama dengan komunitas dan yayasan lain. Yayasan Relawan Bali termasuk yang sering membantu. Pemerintah Kabupaten Buleleng melalui Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga serta Pemerintah Desa Mengening juga banyak mendukung Yayasan Project Jyoti Bali,” tambahnya.
Ia juga bercerita, di awal pendirian yayasan ini, ia memulainya berlima, lalu berkurang menjadi bertiga karena ada yang menikah ke luar kabupaten. Namun, ia mengaku semua bisa ditangani dengan baik.
“Berikutnya kami kekurangan volunter atau tutor. Kami siasati dengan open recruitment di media sosial, tergantung kebutuhan. Ada yang langsung menawarkan diri untuk jadi tutor. Mahasiswa banyak bantu dan berkolaborasi. Ada juga MoU dengan BEM salah satu universitas untuk mengajar. Kami maksimalkan tutor yang dari dekat dulu, karena bagaimana pun juga untuk datang kan perlu biaya bensin. Tak mungkin kan motor yang dipakai diisi air,” ujar Anik setengah berkelakar, sambil melanjutkan, “Kalau kurang baru cari yang jauh.”
Mimpinya ingin membuat sekolah gratis untuk anak-anak kurang mampu, yakni Jyoti School. Untuk mewujudkan mimpinya itu, tak lelah ia akan terus mencari orangtua asuh, kakak asuh atau sponsor. Ia mengaku akan terus menjemput bola door to door di Kecamatan Kubutambahan mencari anak-anak putus sekolah. Ini tak bisa dilaksanakan kalau tak ada bantuan pihak lain, perlu donator maupun sponsor. Ia juga ingin membuat regenarasi, agar perjuangan ini bisa berkelanjutan.
“Apa yang sudah dimulai hari ini agar bisa terus berlanjut di masa depan, tidak berhenti di saya,” tandasnya. (Gde Rahadi)