Denpasar (bisnisbali.com) – Sesuai ketentuan dalam Peraturan BI (PBI) No 23/6/PBI/2021 di Pasal 52, penyedia barang dan jasa dilarang mengenakan biaya tambahan kepada konsumen atas biaya yang dikenakan oleh penyelenggara jasa pembayaran (PJP). Oleh karenanya pedagang dilarang mengenakan biaya merchant discount rate (MDR) atau biaya tambahan kepada pembayaran yang digunakan oleh pengguna QRIS.
Plh. Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Bali, AA. Diah Utari di Denpasar, Selasa (11/7) menerangkan, apabila ada pedagang yang mengenakan biaya tambahan tersebut, pengguna dapat melaporkan ke perusahaan penyedia jasa pembayaran.
Ia pun menjelaskan sesuai pasal 52 ayat 2 dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/Pbi/2021 Tentang Penyedia Jasa Pembayaran, perusahaan PJP wajib memastikan kepatuhan penyedia barang dan jasa atas larangan dimaksud.
Begitupula sesuai pasal 56, PJP yang melanggar ketentuan termasuk dalam pasal 52 ini dapat dikenakan sanksi administrasi. Menyikapi kondisi tersebut, BI akan segera buatkan sosialisasi. “Pengenaan biaya ini pada dasarnya untuk meningkatkan kualitas layanan kepada pedagang dan pengguna dan untuk menjaga keberlangsungan pelayanan QRIS oleh industry,” jelas Diah Utari.
Seperti diketahui, BI memberlakukan biaya layanan QRIS sebagai penyedia jasa pembayaran (PJP) sebesar 0,3 persen yang berlaku sejak 1 Juli 2023. Menurut BI, penetapan tarif tersebut untuk menjaga keberlanjutan penyelenggaraan layanan pembayaran bagi masyarakat dan tidak boleh dibebankan kepada konsumen. Tarif baru MDR disesuaikan untuk meningkatkan kualitas layanan kepada pedagangan dan pengguna.
Sebelumnya Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Bali, Putu Armaya mengatakan, konsumen jangan dibebani biaya QRIS ataupun segala macam yang memberatkan masyarakat, khususnya di era ekonomi saat ini yang belum sepenuhnya pulih seperti semula. Maka dari itu, Armaya memohon pemberlakuan QRIS itu ditinjau kembali jangan sampai dibebankan atau dikenakan biaya, sehingga tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.
“Kami menyarankan agar hal ini ditinjau kembali. Apabila penggunaan QRIS bagus untuk masyarakat seharusnya dievalusi dulu. Dalam arti dilihat proses dan prosedurnya, apakah pemberlakuan QRIS ini sudah berjalan dengan baik, semua penjual sudah menggunakn QRIS dan merata di setiap daerah. Jangan langsung diberlakukan atau mengenakan biaya. Harusnya proses kinerjanya dulu diperbaiki baru mengenakan biaya,” paparnya.
Kendati demikian, Armaya mengakui, pembayaran berbasis digital bertujuan baik. QRIS merupakan pembayaran digital menggunakan scan QR Code dan dapat discan, dikenali dan dibaca oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. “Proses pemberlakuan QRIS ini bagi masyarakat sebenarnya sangat bagus di era zaman digital, modernisasi saat ini karena transaksi pembayaran QRIS bisa di semua aspek,” katanya.
Menggunakan QRIS sangat memudahkan masyarakat saat melakukan pembayaran daripada menggunakan uang cash. Tetapi ketika ada pemberlakuan biaya penggunaan QRIS dikenakan 0,3 persen bagi penjual namun itu dibebankan kepada konsumen, jelas ini tidak tepat.*dik