Denpasar (bisnisbali.com) – Salah satu tantangan masyarakat unbanked masuk dalam sistem keuangan yaitu keterbatasan kemampuan ekonomi. Berdasarkan data Global Findex (2017), menunjukkan persentase penduduk dewasa yang tidak memiliki rekening karena tidak punya cukup dana. Data tersebut memuat beberapa negara di mana ternyata menunjukkan Indonesia termasuk yang tertinggi persentase penduduk dewasa yang tidak memiliki rekening karena tidak punya cukup dana yaitu mencapai 42,2 persen. Negara lainnya di antaranya Brasil di kisaran 20,8 persen, India 11,4 persen, Thailand 11,3 persen dan Malaysia 9,4 persen.
Sementara berdasarkan sumber hasil survei SNKI (2020); n=4407 menunjukkan alasan tidak memiliki akun tabungan bank (pada Persentase orang dewasa yang tidak memiliki akun bank). Hasilnya, mereka yang tidak memiliki sukup uang mencapai 69,1 persen, tidak membutuhkan 31,5 persen, lebih memilih tunai 31,9 persen, tidak pernah mendengar produk tabungan 11,8 persen dan lainnya 23,9 persen.
Kepala Tim Implementasi KEKDA Bank Indonesia Perwakilan Bali, Beny Okta Tutuarima di Denpasar menjelaskan, karena itu, BI melakukan pendekatan dalam pengembangan ekonomi dan keuangan inklusif. Sebab, sebagai upaya meningkatkan inklusi keuangan perlu diintegrasikan dengan upaya meningkatkan keberdayaan ekonomi masyarakat (sisi demand). “BI melakukan pendekatan pengembangan ekonomi dan keuangan inklusif (EKI) melalui 3 aspek yaitu pemberdayaan ekonomi, perluasan akses dan literasi keuangan serta sinergi kebijakan,” katanya.
Bank Indonesia meningkatkan inklusi keuangan yang diintegrasikan dengan pemberdayaan ekonomi khususnya bagi UMKM dan kelompok subsistence untuk mendorong peningkatan akses, penggunaan dan kualitas inklusi keuangan, kata dia , pertama, melalui pemberdayaan ekonomi dengan meningkatkan kapasitas ekonomi dan produktivitas kelompok sasaran melalui technical assistance.
Kedua, perluasan akses dan literasi keuangan dengan meningkatkan kapabilitas kelompok sasaran dalam memanfaatkan layanan keuangan. Ketiga, harmonisasi kebijakan meliputi koordinasi dan kerjasama antar pemangku kepentingan dalam rangka mendorong peningkatkan skala ekonomi dan keuangan inklusif khususnya UMKM dan kelompok subsisten.
Menurutnya, kebijakan peningkatan akses dan literasi keuangan adalah upaya untuk meningkatkan pengetahuan, mengubah mindset, sikap dan perilaku kelompok sasaran sehingga mampu membuat keputusan secara mandiri dalam mengelola keuangan dan menggunakan layanan keuangan sesuai kebutuhan didukung dengan upaya perlindungan konsumen.
Model bisnis pengembangan ekonomi dan keuangan inklusif kel subsisten yaitu dengan intervensi pada program peningkatkan kapasitas kelompok subsisten dilakukan melalui technical assistance dalam bentuk pendampingan, edukasi, pelatihan, didukung sinergi multi stakeholders. “Untuk meningkatkan penggunaan produk dan layanan keuanganà edukasi dan literasi keuangan menjadi faktor kunci pendampingan,” paparnya.
Ia mengungkapkan, key success factor tersebut yaitu pendampingan meliputi penguatan mindset dan mental tumbuh, pengembangan usaha dan akses keuangan. Kemudian, peran local leader. Selanjutnya sinergi multi stakeholder (pemda, lembaga keuangan, perguruan tinggi, lembaga sosial ekonomi, dinas terkait dan lainnya). *dik