Denpasar (bisnisbali.com) – Restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 di Bali berdasarkan lokasi proyek terus melandai dari Rp45,80 triliun posisi Desember 2020 menjadi Rp28,12 triliun atau turun sebesar 38,59 persen posisi April 2023 (Maret 2023: Rp28,90 triliun). Kepala OJK Regional 8 Bali dan Nusra, Kristrianti Puji Rahayu di Denpasar mengatakan, berdasarkan sektor ekonomi, restrukturisasi kredit Covid-19 di Provinsi Bali didominasi oleh sektor penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum mencapai 40,95 persen, sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi dan perawatan mobil dan sepeda motor 23,71 persen dan sektor rumah tangga 14,83 persen.
Selain itu OJK juga mencatat berdasarkan fungsi intermediasi posisi April 2023 sedikit turun dibandingkan dengan bulan sebelumnya, tercermin dari Loan to Deposit Ratio (LDR) turun dari 68,06 persen menjadi 67,28 persen. Hal tersebut disebabkan pertumbuhan kredit lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan DPK. Kondisi pandemi Covid-19 masih berdampak bagi perekonomian Bali dan memberikan scarring effect bagi perbankan dalam penyaluran kredit. Di sisi lain, rasio likuiditas (Cash Ratio) dan permodalan (Capital Adequacy Ratio) BPR di Bali masih solid dan terjaga di atas threshold masing-masing sebesar 14,24 persen dan 35,98 persen.
Tak hanya itu, risiko penyaluran kredit perbankan mengalami penurunan tercermin dari rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) gross menurun dari 3,51 persen pada April 2022 menjadi 3,36 persen. Demikian juga rasio Loan at Risk (LaR) yang terus mengalami penurunan menjadi 29,39 persen dari sebelumnya 39,72 persen pada April 2022. “OJK akan terus mendukung perbankan melalui langkah kebijakan yang diperlukan sehingga perbankan terus bertumbuh berkelanjutan namun tetap prudent dalam aspek manajemen risiko,” katanya.
Sementara itu Ketua Umum Badan Pengurus Daerah (BPD) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bali, Agus Pande Widura (APW) menilai ada rasa harap-harap cemas mengingat sejumlah perbankan tampak belum ikhlas menjalankan perpanjangan restrukturisasi kredit.
Seperti diketahui telah disepakati adanya perlakuan khusus untuk kebijakan restrukturisasi pinjaman bagi pengusaha di Pulau Dewata hingga akhir Maret 2024. Perlakuan khusus itu merujuk pada kebijakan baru Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang perpanjangan restrukturisasi kredit perbankan.
Ia pun menilai ada bank yang tidak ingin memperpanjang restrukturisasi kredit, dengan meminta debiturnya untuk menyudahi program ini. APW membeberkan, perbankan yang memaksakan penghentian restrukturisasi kebanyakan swasta. Sedangkan bank BUMN diakui masih taat menjalankan kebijakan khusus yang diberikan pemerintah pusat. “Beberapa perbankan terkesan dalam tanda kutip meminta nasabah mereka melakukan pembayaran perbankan secara normal,” terangnya.
Alasannya karena kondisi perekonomian nasional yang kian pulih. Padahal, perekonomian nasional tidak bisa dijadikan sebagai parameter pemulihan Bali. Ia pun menegaskan pelaku usaha di Bali kondisinya masih dalam tahap pemulihan. “Kami agak berbeda dengan Indonesia, bukannya kami manja, tetapi memang karena didasari dari 70 persen penduduk di Bali ini sangat tergantung oleh pariwisata,” jelasnya.
Untuk itu pihaknya memandang masih diperlukannya kebijakan-kebijakan khusus perbankan kepada pengusaha. Bukan hanya perbankan, tetapi juga mungkin dalam hal ini pemerintah pusat bisa memberikan kebijakan-kebijakan, sehingga pelaku usaha di daerah ini bisa berdiri betul-betul 100 persen, baru ada aturan-aturan yang disesuaikan secara umum.
Diakui, restrukturisasi menjadi salah satu solusi dalam menjaga laju kredit macet (NPL). Ia khawatir, ketika perbankan memaksakan penghentian restrukturisasi, tingkat kredit macet di Bali sulit dikendalikan. Nilai NPL di Bali itu diproyeksikan relatif tinggi, tetapi saat ini masih dijaga oleh restrukturisasi. “Ada kekhawatiran saya, apabila restrukturisasi dicabut atau dipaksakan, maka akan terjadi penjualan aset secara massal,” ucapnya. *dik