Penarikan Paksa Kendaraan masih Banyak Dikeluhkan

Penarikan paksa kendaraan oleh perusahaan pembiayaan (leasing) akibat tunggakan angunan masih banyak dikeluhankan masyarakat.

258
Arif Safari

Denpasar (bisnisbali.com) –Penarikan paksa kendaraan oleh perusahaan pembiayaan (leasing) akibat tunggakan angunan masih banyak dikeluhankan masyarakat. Bahkan, beberapa di antaranya tidak melakukan dengan prosedur yang benar sehingga terjadi konflik dan terkesan memaksa.

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mencatat dari 8.542 pengaduan yang masuk ke BPKN sejak 2017 sampai 12 Mei 2023, sebanyak 3.131 berasal dari sektor keuangan dan 301 berasal dari subsektor pembiayaan. Angka tersebut menduduki posisi kedua setelah pengaduan soal perumahan.

Ketua Komisi Penelitian dan Pengembangan BPKN Arief Safari mengatakan, memuncaknya konflik terhadap penarikan kendaraan oleh sewa guna usaha (leasing) terjadi saat pandemi Covid-19. Seperti daerah lainnya, Bali juga mengalami hal yang sama. Hingga saat ini persoalan itu masih tetap terjadi.

“Hal itu terjadi karena beberapa hal. Pertama si konsumen lalai, kemudian perusahaan leasing ingin menarik kendaraannya, ada yang tidak sesuai dengan prosedur,” ungkapnya dalam Focus Discusion Group (FGD) terkait perlindungan konsumen atas penarikan paksa kendaraan bermotor akibat kredit macet di Denpasar, Rabu (17/5).

Dijelaskannya, penarikan kendaraan yang bisa dilakukan oleh perusahaan leasing harus dengan beberapa tahapan. Pertama harus ada surat tugas, sebelumnya ada surat peringatan, selanjutnya mesti ada sertifikat fidusia. “Jika konsumen sukarela mau ditarik kendaraannya, tidak masalah. Isu yang terjadi adalah apabila konsumen keberatan. Akhirnya sesuai putusan MK terbaru, jika konsumen keberatan harus melalui keputusan eksekusi di pengadilan. Ini yang terkadang tidak dilalui. Dianggap dengan sertifikat fidusia dan surat tugas peringatan saja sudah cukup menarik kendaraan,” kilahnya.

Menurut Arief Safari, persoalan terjadi juga karena peran mata elang di lapangan. Perusahaan leasing membutuhkan pihak ketiga dalam mengamankan aset dalam hal ini kendaraan yang dibiayai. Mata elang di lapangan membantu para debt collector untuk menemukan di mana posisi kendaraan.  Namun, yang sering terjadi mata elang bersikap menahan kendaraan agar tidak bergerak dan menjauh. Hal ini bukan kewenangannya dan juga menimbulkan konflik.

Ia menilai sistem yang dibuat saat ini pada dasarnya sudah bagus, hanya ada oknum yang melalukan pelanggaran. Debt collector dan mata elang didorong memiliki sertifikasi sehingga memiliki kelegalan saat menjalankan tugas. Demikiam juga masyarakat selaku konsumen diharapkan tahu hak dan kewajibannya serta memiliki etika. “Jika punya persoalan ekonomi dan tidak mampu bayar cicilan, sebaiknya komunikasi dengan lembaga pembiyaan atau OJK supaya bisa diberikan keringanan. Karena jika konsumen menolak akan timbul biaya biaya lainnya, seperti denda, biaya penagihan yang pada akhirnya menumpuk dan akan timbul konflik,” imbuhnya.

Ketua Lembaga Yayasan Perlindungan Konsumen (YLPK) Bali I Putu Armaya juga mengakui banyaknya keluhan terkait penarikan kendaraan. Terlebih di tengah pandemi Covid-19 lalu, pengaduan lewat media sosial bisa mencapai 100 per hari.  “Saat ini sudah melandai, paling ada empat sampai lima  pengaduan dalam sehari, ” terangnya. *wid