Denpasar (bisnisbali.com) – Selain melarang wisatawan asing menyewa kendaraan (sepeda motor) di Bali, beberala waktu lalu Gubernur Bali Wayan Koster juga sempat menyebutkan akan mengusulkan pencabutan Visa on Arrival (VoA) wisatawan Rusia-Ukraina ke Pemerintah Pusat. Hal ini buntut dari beragam masalah yang ditimbulkan oleh beberapa oknum wisman tersebut di Bali. Namun usulan pencabutan VoA tersebut diharapkan tak tergesa-gesa, mengingat perputaran uang di Bali cukup besar dari wisman tersebut.
Ketua Bali Tourism Board (BTB) Ida Bagus Agung Partha Adnyana saat diwawancarai beberapa waktu lalu, mengakui, beberapa kali dalam pertemuan bersama Gubernur Bali, tercetus usulan untuk sementara mencabut VoA dua negara itu. Namun terkait update terakhir, ia menilai Bali harus hati-hati dalam menyikapi hal ini agar tidak berlebihan. Apalagi, ditengah upaya bersama untuk mengembalikan kepercayaan dunia pariwisata, sehingga pemerintah dan pelaku pariwisata harus bijak.
“Bukannya Pemprov tidak wise, tapi itu yang dulu. Sekarang kita harus melihat, karena rata-rata (turis) Rusia itu datangnya hampir 20 ribu ya ke Bali. Januari, 20 ribu. Februari, 17 ribu, anggaplah estimasinya 20 ribu rata-rata,” katanya.
Dengan itu, ada sekitar 2 ribu US dollar dana yang ke luar untuk liburan ke Bali diluar tiket pesawat. “Anggaplah setengahnya (dari 20 ribu WN Rusia dan Ukraina) itu memang betul-betul wisatawan. Ini ada potensi secara industri, kita melihat akan ada devisa,” tambahnya.
Ia menilai, pemerintah dan stakeholder harus benar-benar pintar menyikapi yang sebenarnya. Ia menyarankan, yang diperlukan saat ini penegakan hukum terhadap turis yang saat ini melanggar. Jika harus dideportasi, maka dideportasi dulu. Sebab semenjak perang Rusia-Ukraina, mereka berbondong-bondong datang ke Bali. “(Ke) Singapore dan Jepang, mereka tidak mau karena sistem mereka ketat. Kalau di Indonesia, mungkin dilihat ada celah gitu untuk melakukan pelanggaran bekerja dan sebagainya,” jelasnya.
Intinya, perlu adanya penegakan hukum yang jelas. Jika ada yang melanggar, bisa dihukum denda atau dideportasi. Selain itu, diusulkannya, jika memungkinkan kedepan agar aturan VoA direvisi dengan memangkas sedikit waktu tinggal. “Kalau bisa berlaku untuk semua negara tidak bisa rusia saja, ya maksimal dua minggu. Supaya tidak salah gunakan, sehingga betul-betul orang ke Bali liburan. Kita butuh wisatawannya, bukan pekerjanya. Jadi benar-benar yang datang itu orang pariwisata liburan,” ucapnya.
Ke depan menurut dia, dalam menyikapi masalah agar jangan terlalu berlebihan. Pasalnya, Rusia menjadi negara terbanyak kedua yang datang ke Bali. Rusia memiliki potensi pasar yang cukup besar. “Jadi kali 2 ribu dollar pengeluaran mereka, dikali (jumlah kedatangan) wisatawan Rusia (ke Bali). Itu ada Rp400 miliar potensinya, anggap setengahnya betul-betul wisman, kan Rp200 miliar lumayan juga jadi harus hati-hati,” pesannya.
Sementara itu, Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengungkapkan Visa on Arrival (VoA) dan Electronic Visa on Arrival (e-VoA) warga negara Rusia dan Ukraina di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali mengalami penurunan di bulan ini. Per tanggal 12 Maret 2023, jumlah pengguna VoA dan e-VoA asal Rusia sebanyak 5.196 orang, sedangkan Ukraina sebanyak 566 orang. “Tren kedatangan wisatawan asal Rusia dan Ukraina menggunakan VoA dan e-VoA terpantau menurun. Bulan Februari ada lebih dari 15.000 orang dari Rusia dan 2.000-an orang dari Ukraina. Bulan Januari lebih banyak lagi, dari Rusia hampir 20.000 orang dan dari Ukraina juga lebih dari 2.000 orang,” ujar Dirjen Imigrasi Silmy Karim beberapa waktu lalu.
Sekarang jumlah warga negara Rusia dan Ukraina menurun sekitar 30 persen dari triwulan terakhir tahun 2022. “Terkait WNA yang menyalahi aturan keimigrasian dan mengganggu ketertiban di Bali, saya sudah instruksikan tim pengawasan dan penindakan dari pusat untuk membantu di Bali,” sambungnya.
Dia menambahkan, usulan Gubernur Bali I Wayan Koster yang ingin VoA bagi warga negara Rusia dan Ukraina dicabut masih dalam tahap penelaahan. “Hal itu dikarenakan keputusan yang diambil akan berdampak secara luas, apalagi WN Rusia dan Ukraina juga tersebar di wilayah lain di Indonesia,” tandasnya. *wid