Denpasar (bisnisbali.com) – Berbagai informasi menyebutkan akan terjadinya resesi ekonomi global pada 2023. Indonesia pun diproyeksikan dapat bertahan dari ancaman resesi ekonomi tersebut. Kendati demikian, Bali yang mengandalkan sektor pariwisata tetap harus mewaspadainya, terutama perlambatan ekonomi di negara-negara asal wisatawan mancanegara (wisman) yang selama ini menyumbang jumlah kunjungan tertinggi bagi Pulau Dewata.
Pemerhati ekonomi dari Undiknas University Agus Fredy Maradona, Ph.D., CA. di Denpasar, Senin (17/10) mengatakan, saat ini banyak muncul istilah ekonomi seperti stagflasi, resesi hingga krisis ekonomi. Untuk stagflasi sendiri yaitu terjadinya inflasi dibarengi perlambatan laju pertumbuhan ekonomi dan pengangguran tinggi.
Akankah itu terjadi di Indonesia? Ia menilai itu terlalu dini mengatakan hal tersebut. Hal ini kemungkinan bisa terjadi di negara lain, missal Eropa. Latar belakang itu terjadi, tidak bisa lepas dari perang Rusia-Ukraina di mana belum ada kepastian berakhirnya. Satu sisi pandemi belum sepenuhnya hilang. Kenapa perang dua negara tersebut sangat beperan, kata AF. Maradona, dua negara ini sangat penting menghasilkan komoditas utama di dunia seperti energi, minyak, batubara maupun gas. Ukraina bahkan jagung dan gandum. Keadaan tersebutlah langsung berdampak ke konsumen di negara Eropa.
“Alhasil ketika harga energi meningkat tentu harga lainnya meningkat.Sederhananya distribusi barang dengan bahan minyak naik maka biaya hidup meningkat dan mempengaruhi kenaikan biaya produksi barang dan jasa otomatis sehingga harga-harga meningkat. Inilah membuat inflasi,” jelasnya.
Negara yang terpengaruh salah satunya Amerika Serikat karena terdampak akibat bahan bakar minyak dunia yang meningkat mengikuti harga pasar. Indonesia demikian juga, harga bahan bakar meningkat sehingga diprediksi inflasi meningkat. Sebab, komponen harga minyak signifikan dampaknya laju inflasi. “Kita tentu harus waspada terhadap stagflasi, inflasi dan resesi. Resesi merupakan laju kontraksi ekonomi berturut-turut selama dua triwulan,” ujarnya.
Akankah alami resesi lagi? Menurut lulusan doktor dari Macquarie University, Sydney Australia ini, kecil kemungkinan Indonesia mengalaminya karena struktur perekonomiannya nasional ditopang permintaan domestik (domestik demand), bukan ekspor. “Negara yang rentan resesi adalah negara perekonomian yang bertumpu ke ekspor, khususnya negara maju,” paparnya.
Kenapa negara maju karena pertumbuhan ekonomi melambat, permintaan turun, ekspor dipastikan turun sehingga akan terdampak. Sementara Indonesia bukan seperi itu, karena kontribusi ekpor kita kepada PDB sekitar 25 persen. “Kita terselamtakan permintaan domestik. Ini yang harus dijaga,” sarannya.
Hanya saja berbicara Bali, kata Agus Maradona, Pulau Dewata kendati bukan eksportir barang namun pariwisata di pulau seribu pura ini adalah termasuk ekspor. Itu terjadi karena pembelinya datang ke Bali dalam bentuk wisman maka sama saja ekspor (wisman) ini yang harus diwaspadai. “Oleh karena itu yang perlu diwaspadai Bali adalah kondisi ekonomi asal negara wisman yang akan menyebabkan penurunan jumlah kunjungan wisatawan,” imbuhnya.
Pariwisata merupakan kebutuhan tersier seperti liburan maupun wisata. Perekonomian Bali ini bergerak di sektor terisier. Ketika perlambatan ekonomi terjadi di negara wisman biasanya orang menunda dulu wisata. Tidak mungkin mereka menunda makan, sekolah anak, kendaraan. “Tapi liburan bisa ditunda,” ucapnya. Oleh karena itu, ia berharap pelaku pariwisata menagmbil strategi misalnya lewat paket liburan atau layanan wisata yang bisa menarik kunjungan wisman dan menyasar wisatawan domestik. *dik