Pengalihan ke Kompor Listrik Perlu Konsistensi

Pengamat ekonomi menilai mengurangi ketergantungan elpiji dengan mengalihkan ke kompor listrik membutuhkan konsistensi, karena diperkirakan butuh waktu lama adaptasi dan persiapan di tingkat masyarakat.

184
Bhima Yudistira

Denpasar (bisnisbali.com) –Pengamat ekonomi menilai mengurangi ketergantungan elpiji dengan mengalihkan ke kompor listrik membutuhkan konsistensi, karena diperkirakan butuh waktu lama adaptasi dan persiapan di tingkat masyarakat. Ini selaras rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memulai uji coba konversi kompor gas ke kompor listrik. Konversi ke kompor listrik untuk mengurangi penggunaan gas elpiji 3 kg yang kini memakan subsidi semakin besar.

Ekonom Bhima Yudhistira saat dihubungi, Kamis (22/9) menyebutkan kondisi tersebut karena pertama, daya listrik yang dibutuhkan untuk kompor listrik relatif besar. Sementara kelompok 450 Va adalah golongan pemakai elpiji subsidi terbanyak, sehingga kurang cocok menggunakan kompor listrik untuk memasak harian. “Kalau dinaikkan daya listriknya maka beban tagihan listrik akan naik dan merugikan orang miskin,” katanya.

Kedua, biaya transisi ke kompor listrik relatif jadi beban baru. Menurut Bhima, sepertinya tidak semua kompor listrik bisa diberi gratis plus alat masak khusus. Sebab, kalau orang miskin disuruh beli kompor listrik sendiri sepertinya hanya menambah beban di tengah naiknya biaya hidup akibat inflasi.

Ketiga, pemerintah ingin kurangi ketergantungan bahan bakar fosil, tapi di hulu pembangkit listrik masih dominan batubara dan BBM. “Jadi sama saja konsumsi listrik naik maka PLTU yang butuh batubara semakin tinggi. Beban hanya pindah dari penghematan di hilir jadi kenaikan pembelian batubara dan bbm impor di hulu pembangkit,” ungkapnya.

Keempat, budaya masyarakat menggunakan kompor listrik sepertinya butuh waktu lebih lama untuk dirubah. “Jangankan orang miskin, kelompok menengah atas sbenarnya sudah lama mengenal kompor listrik. Tapi mereka nyaman pakai LPG karena proses memasak lebih cepat,” paparnya.

Ia pun menilai khawatir uji coba dari penggunaan kompor listrik akan kembali lagi pakai kompor elpiji karena memasak lebih cepat. Kelima, infrastruktur listrik di kantong-kantong kemiskinan meskipun rasio elektrifikasi nya tinggi, tapi masih terdapat keluhan byar pet atau pemadaman di jam tertentu. Ini perlu dijamin stabilitas aliran listrik, karena jika terjadi pemadaman, maka aktivitas rumah tangga /penggunaan kompor listrik bisa terganggu. “Dalam kondisi tertentu kelompok rumah tangga miskin terpaksa mengeluarkan uang untuk membeli genset sebagai cadangan tenaga listrik,” ucap Bhima. *dik