Denpasar (bisnisbali.com) – Capaian kontribusi UMKM terhadap ekspor nonmigas saat ini baru sekitar 15,7 persen di bawah kontribusi UMKM China, India, dan Vietnam. “Pelaku UKM Go Ekspor membutuhkan pengetahuan tentang tren pasar produk ekspor, market intelegensi, dan pengembangan produk ekspor. Tentu dalam kegiatan ini, peran agregator sebagai narasumber dan pendamping UKM telah berbagi ilmu serta pengalamannya (transfer knowledge),” ucap Asisten Deputi Pengembangan SDM Usaha Kecil dan Menengah Deputi Bidang UKM KemenKopUKM Dwi Andriani Sulistyowati dalam keterangannya dipantau di Denpasar, Senin (19/9).
Transfer knowledge dilakukan melalui ulasan dan masukan langsung dari agregator, desainer produk, dan praktisi ekspor dari setiap produk yang dihasilkan dan dipresentasikan oleh masing-masing UKM. Dengan begitu, dalam kegiatan pengembangan SDM UKM Berbasis Kemitraan antara agregator dengan UKM ekspor ini tak hanya diberikan teori penunjang, namun juga diberikan praktik langsung. ”Memang ada tahapannya, teori sekitar 30-40 persen. Kemudian kita ajak ke workshop langsung praktik, UKM mengamati, meniru, dan memodifikasi yang disebut ATM (Amati, Tiru, Modifikasi), ditambah adanya success story dari para agregator yg juga sebagai pelaku UKM, untuk menyemangati mereka,” ucapnya.
Karena menurut Dwi, UKM masih memiliki kelemahan salah satunya dalam memproduksi produk tidak melihat tren. Maka perlu didatangkan pakar di bidang desain produk, agregator, dan buying representatif. Kegiatan ini, merupakan wadah para pelaku UKM untuk berinteraksi dan saling mengenalkan usaha (company profile) masing-masing. Dengan membangun jaringan (networking) akan menjalin kolaborasi dan sinergi antar sesama pelaku UKM untuk menciptakan dan memproduksi produk-produk kreatif baru dengan kualitas ekspor.
“Hasil yang diharapkan adalah, para pelaku UKM juga dapat menjadi bagian dari rantai pasok agregator dan usaha besar berskala ekspor. Dengan melakukan kegiatan langsung di pabrik, para pelaku UKM mendapatkan pengalaman langsung bagaimana proses produksi,” kata Dwi.
Sehingga outcome-nya nanti, UKM bisa memasarkan produknya sendiri terutama tidak melalui trading house. Dijelaskan Dwi, terdapat perbedaan antara trading house dengan agregator. Trading house sendiri merupakan perusahaan jasa yang bisa menyelesaikan administrasi tentang ekspor tapi dikenakan biaya. “Ketika buyer-nya komplain, trading house tidak bertanggung jawab. Kalau agregator, mereka sebagai praktisi juga pelaku, memiliki pengetahuan tentang seni disain. Jadi ketika ada komplain, mereka dapat menampung terlebih dahulu, kemudian bisa diselesaikan bersama ditambah mereka juga melakukan pembinaan dan berkontribusi terhadap kemajuan UKM,” kata Dwi. *rah