Denpasar (bisnisbali.com) – Pemerintah diminta mewaspadai dampak penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) terhadap pertumbuhan ekonomi, karena saat ini Indonesia masih berada pada masa pemulihan akibat dampak pandemi Covid-19.
Ekonom Universitas Brawijaya Nugroho Suryo Bintoro di Kota Malang, Jawa Timur, Sabtu (3/9) dipantau di Denpasar mengatakan, salah satu hal yang perlu diantisipasi dari kenaikan harga BBM adalah target pertumbuhan ekonomi, karena kebijakan ini bisa menghambat konsumsi masyarakat.
“Untuk masalah yang harus diantisipasi adalah terkait target pertumbuhan ekonomi, karena besar kemungkinan akan menjadi ancaman. Saat ini, kita masih dalam kondisi pemulihan (akibat Covid-19),” kata Nugroho.
Pengguna BBM subsidi jenis pertalite, solar dan non-subsidi pertamax, saat ini mayoritas merupakan masyarakat kelas menengah dan juga masyarakat menengah ke bawah. “Masyarakat ekonomi kelas menengah yang menahan konsumsi itu yang perlu diwaspadai. Karena ini bukan lagi konsumsi makanan, tapi kita bicara sektor sekunder dan tersier yang memiliki banyak nilai tambah,” katanya.
Salah satu sektor yang akan terganggu akibat kenaikan harga BBM tersebut antara lain pada penjualan kendaraan bermotor bekas. Selain itu, sektor pariwisata ikut terkena dampak penyesuaian harga BBM. Masyarakat yang akan melaksanakan kegiatan rekreasi, akan menahan pengeluaran di daerah tujuan wisata akibat dampak kenaikan biaya perjalanan dari agen wisata. “Rangkaian itu yang kemudian menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan terganggu, sementara kita juga masih dalam kondisi pemulihan. Ini yang berbahaya,” ujarnya.
Selain itu, dampak lanjutan akibat penyesuaian harga BBM adalah kenaikan harga sejumlah bahan pokok penting karena biaya distribusi juga ikut mengalami kenaikan. “Proses distribusi akan tetap berjalan, yang menjadi pertanyaan apakah kenaikan BBM juga berpengaruh terhadap harga jual akhir komoditas penting itu,” ujarnya.
Ia menambahkan, jika harga bahan pokok penting tersebut mengalami kenaikan dan inflasi tahun ke tahun di bawah pertumbuhan ekonomi, maka akan mengganggu daya beli masyarakat Indonesia. “Ketika inflasi lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi, maka itu akan mengganggu daya beli masyarakat dan itu tidak boleh terjadi. Itu harus diwaspadai pemerintah,” katanya.
Di pihak lain, ekonom Aviliani menilai pemerintah harus bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait keputusan menaikkan harga BBM. “Wajar saja masyarakat tidak sepakat naik, persoalan di belakang itu, masyarakat tidak mau tahu. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyampaikan hal-hal yang berkaitan, kenapa BBM naik, lalu bagaimana pemerintah mengatasi pangan,” katanya.
Ia memahami keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM, yaitu karena anggaran subsidi BBM yang terus membengkak, utamanya karena ada supply shock akibat perang Rusia-Ukraina. Pemerintah dalam asumsi makro APBN 2022 sudah menetapkan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar 80 dolar AS. Namun, perang membuat suplai BBM tersendat dan membuat harganya meroket hingga 105 dolar AS.
“Sehingga mau tidak mau harga BBM itu harus naik. Apalagi kebijakan pemerintah tentang harga minyak itu sebenarnya tidak disubsidi lagi, jadi akan naik dan turun sesuai harga minyak dunia dimana kita tidak miliki sendiri. Kita masih tergantung impor,” katanya.
Kenaikan BBM juga dinilai tidak bisa dihindari lantaran sebanyak 80 persen yang menggunakan BBM bersubsidi adalah mereka yang tidak membutuhkan. Ia menyebut industri juga masih banyak menggunakan BBM bersubsidi, begitu juga rumah tangga mampu.
Ia mengakui kemungkinan inflasi akan naik akibat kenaikan harga BBM. Oleh karena itu, pemerintah perlu menjaga pasokan pangan agar jangan sampai menimbulkan kenaikan harga yang tidak wajar. Ia mengingatkan masalah BBM hampir selalu terjadi setiap pemerintahan. Menurut dia, pemerintah selalu lupa untuk melakukan pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) atau melakukan efisiensi saat harga BBM sedang turun.
“Ini pelajaran buat pemerintah bahwa untuk menangani hal ini kita harus mempersiapkan diri untuk mengarah ke EBT atau pindah ke gas, atau ke mikrohidro yang sekarang sudah dikembangkan tapi belum tertangani dengan baik karena dianggap skalanya masih kecil,” katanya.
Pemerintah memutuskan untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi pertalite menjadi Rp10.000 per liter, dari sebelumnya Rp7.650 per liter. Penyesuaian itu dimulai pada Sabtu (3/9) pukul 14.30 WIB. Selain pertalite, BBM bersubsidi solar juga mengalami penyesuaian harga, dari Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter dan BBM non-subsidi jenis pertamax dilakukan penyesuaian harga dari Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500 per liter. *rah