Sabtu, November 23, 2024
BerandaBaliBiaya Produksi dan Populasi Turun Picu Lonjakan Harga Telur Ayam

Biaya Produksi dan Populasi Turun Picu Lonjakan Harga Telur Ayam

Makin mahalnya biaya produksi dan kian menurunnya populasi ayam petelur, menurut sejumlah peternak di Kabupaten Tabanan, menjadi penyumbang lonjakan harga saat ini yang merupakan tertinggi sepanjang sejarah.

Tabanan (bisnisbali.com)–Makin mahalnya biaya produksi dan kian menurunnya populasi ayam petelur, menurut sejumlah peternak di Kabupaten Tabanan, menjadi penyumbang lonjakan harga saat ini yang merupakan tertinggi sepanjang sejarah. Kini, harga telur ayam ras di tingkat pedagang meroket menyentuh Rp28.000 per kilogram, mengikuti harga di tingkat peternak yang sudah bercokol di posisi Rp26.133 per kilogram.

Ketua Koordinator Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Kabupaten Tabanan Gede Darma Susila, Kamis (25/8), mengungkapkan kenaikan harga telur ayam ras di tingkat peternak terus berlanjut. Setelah pada awal Agustus lalu harga telur naik ke posisi Rp1.500 per butir atau Rp46.000 per krat, menjelang akhir bulan ini harga kembali bergerak ke posisi Rp26.133 per kilogram atau Rp49.000 per krat. ‘’Harga telur ayam di tingkat peternak naik sekitar Rp1.000 per butir dari harga sebelumnya,” tuturnya.

Menurutnya, melonjaknya harga telur dipicu oleh penyesuaian biaya produksi yang lebih dulu naik. Sebab, sebelum hingga memasuki masa pandemi, harga bahan baku produksi naik tidak terkontrol. Harga pakan pabrik konsentrat yang semula Rp350 ribu meningkat menjadi Rp500 ribu per 50 kilogram/per sak. Harga jagung yang normalnya Rp3.500-Rp4.500 naik ke posisi Rp6.000 per kilogram. Sementara harga dedak stabil Rp3.800 per kilogram. Komposisi pakan terdiri dari 35 persen konsentrat, 50 persen jagung dan 15 persen dedak. Jadi, biaya pakan naik Rp6.300-Rp6.400 per kilogram saat ini,” ujarnya.

Biaya produksi yang tinggi akhirnya membuat sejumlah peternak ayam petelur mulai tingkat lokal hingga nasional banyak yang kolap (bangkrut). Beberapa ada yang bertahan dengan cara mengurangi populasi kandang untuk menekan biaya produksi. Akibatnya, dari 100 persen populasi ayam ternak milik peternak kini hanya tersisa 40 persen. Itu pun kondisi ayam sebagian besar sudah berumur tua sehingga produksi tidak optimal.

Melonjaknya harga jual telur dan usia ternak yang sebagian besar berumur tua tidak serta-merta disikapi peternak untuk momen cari untung dengan meregenerasi atau menambah populasi ternak. Hal ini lantaran harga beli day old chicken (DOC) yang normalnya Rp4.500-Rp5.500 per ekor naik mencapai Rp17.000 per ekor.

“Harga DOC sudah tiga kali lipat lebih mahal saat ini. Belum lagi adanya kewajiban kredit yang ditanggung peternak kepada pihak bank untuk menutupi kerugian usaha saat harga telur jatuh sebelumnya. Jadi, peternak kemungkinan akan stagnan pada produksi yang ada saat ini,” kilah Darma Susila.

Sementara itu, salah seorang pedagang telur ayam, Putu Astini, menyatakan harga telur ayam ras di tingkat pedagang naik signifikan mencapai Rp55.000 per krat (isi 30 butir). Kenaikan harga sudah terjadi di tingkat peternak, sehingga ia hanya menyesuaikan besaran kenaikan harga yang terjadi. “Harga telur ayam di peternak naik, ya saya pun ikut menyesuaikan harga ke konsumen. Namun, karena sekarang harga mahal maka saya mengurangi jumlah pembelian. Takut rugi karena tidak laku terjual semua,” paparnya. *man

Berita Terkait
- Advertisment -

Berita Populer