Denpasar (bisnisbali.com) – Bali dipandang perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah pusat, mengingat pertumbuhan ekonomi di Pulau Dewata kendati mulai tumbuh namun belum signifikan seperti provinsi lainnya. Perekonomian Bali saat pandemi Covid-19 bahkan terpuruk ke posisi ke-34 dari sebelumnya di urutan 10 besar secara nasional, dan kini mulai berangsur ke posisi 31 pasca pandemi Covid-19.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira kepada Bisnis Bali, Minggu (14/8) menyampaikan pemulihan ekonomi, khususnya di daerah pariwisata seperti Bali masih terhambat oleh pandemi dan kenaikan harga avtur. Selain itu transportasi darat menghadapi penyesuaian harga BBM nonsubsidi. Begitupula restoran dan kafe dihadapkan pada naiknya harga elpiji 12 kg.
“Ini menandakan situasi ekonomi masih tidak pasti. Sementara harga komoditas yang sebelumnya membantu pemulihan di luar Jawa, saat ini mulai alami koreksi penurunan harga akibat ramalan resesi global,” katanya.
Karenanya, Bhima Yudistira menilai pemerintah sebaiknya masih melanjutkan relaksasi bagi dunia usaha, baik insentif perpajakan maupun aneka diskon untuk meringankan beban operasional. “Untuk restrukturisasi kredit sebaiknya prioritaskan perpanjangan bahkan hingga 2025 untuk wilayah Bali secara spesifik di sektor yang berkaitan dengan pariwisata,” ujarnya. “Pekerja juga berhak mendapat kelanjutan subsidi upah,” imbuhnya.
Disinggung kendala pengusaha Bali dari sisi permodalan sementara perbankan tidak berani memberikan kredit takut lonjakan NPL?. Bhima menyebutkan harus ada kebijakan khusus dari Otoritas Jasa keuangan (OJK) terkait restukturisasi di Bali. “Jadi ada pengecualian sehingga bank lebih terdorong membantu debitur terutama bank BUMN,” paparnya.
Jadi di sini bisa dikatakan, Bali perlu mendapatkan perhatian khusus untuk kebangkitan ekonominya, mengingat ekonomi belum bisa dikatakan baik-baik saja, sementara daerah lain sudah bertumbuh. Sebelumnya diberitakan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bali menilai kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit yang akan berakhir pada Maret 2023 sangat berbahaya bagi perekonomian Bali. Karenanya berharap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempertimbangkan untuk memperpanjang program restrukturisasi kredit di Bali.
Ketua Umum Badan Pengurus Daerah Hipmi Bali, Agus Pande Widura mengakui bila restrukturisasi berakhir di 2023 tentu sangat tidak berpihak bagi Bali. “Walaupun pertumbuhan ekonomi nasional sudah positif, tetapi Bali baru berbenah. Ibaratnya masih sempoyongan, tetapi sudah dipaksa untuk berlari. Karena itu jika restruktusasi dicabut tahun 2023 sangat berbahaya bagi perekonomian Pulau Dewata,” katanya.
Oleh karena itu, Hipmi mendukung pemerintah provinsi Bali bersama stakeholder mengusulkan adanya perpanjangan masa restrukturisasi hingga tahun 2025. Harapannya dengan diperpanjangnya restrukturisasi, bisa juga diikuti dengan perpanjangan tenor pinjaman. “Harapannya para pengusaha ada nafas tambahan untuk beberapa tahun ke depan. Karena memang data menunjukkan, Bali baru akan diposisi pra-pandemi Covid-19 itu sekitar tahun 2024 atau 2025,” ucapnya.
Sementara itu BPS Bali mencatat total perekonomian Bali pada triwulan II-2022 yang diukur berdasarkan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) atas dasar harga berlaku (ADHB) tercatat sebesar Rp60,65 triliun. Atau jika diukur atas dasar harga konstan (ADHK) tahun 2010, PDRB Bali tersebut tercatat sebesar Rp37,94 triliun.
Dengan besaran tersebut, ekonomi Bali triwulan II-2022 tercatat tumbuh sebesar 7,38 persen jika dibandingkan dengan capaian triwulan I-2022 (q-to-q). Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi tercatat pada lapangan usaha kategori administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib sebesar 40,39 persen. Sementara dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi tercatat pada komponen impor luar negeri yaitu sebesar 392,56 persen.
Sedangkan jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (y-on-y), ekonomi Bali triwulan II-2022 tercatat tumbuh sebesar 3,04 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi tercatat pada lapangan usaha kategori pengadaan listrik dan gas sebesar 15,40 persen. Sementara dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi tercatat pada komponen komponen impor luar negeri yaitu sebesar 556,67 persen. “Jika diakumulasikan pertumbuhan triwulan I-2022 sampai dengan triwulan II- 2022, maka ekonomi Bali pada semester I-2022 tercatat tumbuh sebesar 2,27 persen (c-to-c),” kata Kepala BPS Bali Hanif Yahya.*dik