Denpasar (bisnisbali.com)-Ditemukannya puluhan ekor ternak sapi yang terjangkit wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) di sejumlah wilayah di Bali, membuat aktivitas pengiriman hewan ternak ke luar Bali ditutup untuk sementara. Tak hanya ternak sapi, pemberlakukan lockdown juga berlaku untuk ternak lainnya, termasuk babi. Bali yang mengusai 90 persen pasar babi di Jakarta dikhawatirkan mengancam belasan ribu ekor babi tidak terserap.
Ketua Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali Ketut Hary Suyasa, Minggu (3/7) mengatakan, akan ada sekitar 12-15 ribu ekor babi yang terancam batal kirim jika lockdown berlaku hingga sebulan lamanya.“Hingga saat ini babi belum (terinfeksi), tetapi ada dampak ekonomis yang ditimbulkan setelah dilakukan lockdown dari Jumat (1/7) malam. Yang perlu dipikirkan sampai kapan ini akan terjadi? Bagaimana dengan dampak ekonomis masyarakat Bali, pasca-Covid-19 yang menggantungkan hidupnya pada peternakan, khususnya peternak babi,” ujarnya.
Saat ini dalam posisi normal sekitar 3 ribu ekor babi dikirim ke luar Bali per minggunya. Sehingga ada sekitar 12 ribu ekor sampai 15 ribu ekor per bulan. “Kalau sampai di-lockdown sebulan, artinya ada 15 ribu ekor babi yang tidak terserap, dan di belakangnya lagi. Daya beli juga belum pulih,” jelasnya.
Sejak Jawa Timur terdampak wabah PMK, pihaknya bersama GUPBI telah mengingatkan pemerintah. Selain itu, upaya antisipasi juga sudah dilakukan dengan pemasangan bilik disinfektan di Jembrana. Namun kemudian, bilik disinfektan tersebut tak termanfaatkan dengan alasan tidak ada listrik. “Jujur saja, saya kecewa dengan pemerintah. Stakeholder, pemangku kepentingan, pemangku kebijakan, itu sepertinya semangatnya tidak sejalan (dengan para peternak),” ungkapnya.
Menurutnya, jika Bali berada di zona hijau dari wabah PMK, transaksi ekonomi akan sangat baik. Sebaliknya, jika merah, akan menjadi pukulan bagi Bali dalam upaya pemulihan ekonomi. Untuk itu, ia menyarankan, pemerintah harus mulai memperhatikan pintu-pintu keluar-masuk Bali, atau pintu masuk tikus. Ia menyebutkan, ada pelabuhan-pelabuhan gelap yang harus diperhatikan serius karena menimbulkan dampak yang tidak baik secara ekonomis dan sosial. “Pelaku usahanya yang juga kita harapkan melakukan sterilitas terhadap kendaraannya yang masuk ke Bali juga kurang. Hanya ada satu, dua, yang mau, tidak lebih,” katanya.
Begitu pula pada pelaku usaha, yang dinilainya kurang memikirkan masalah veteriner. Yang pada akhirnya, akan berdampak terhadap ekonomi mereka. “Mereka selalu berpikir masalah profit-oriented. Ini yang juga saya sesalkan,” katanya.
Ia pun menegaskan, agar hewan ternak di Bali segera menerima vaksin dan sebanyak-banyaknya. Kemudian, pemerintah perlu memberikan edukasi, terkait pembuatan jarak antara pemelihara sapi dan hewan lainnya. Pemerintah juga disarankan untuk mulai mempertimbangkan bagaimana kedepannya jika wabah PMK ini menjadi panjang. “Karena yang di-lockdown ini tidak hanya sapi dan babi saja, tetapi produk turunannya juga. Padahal permintaan babi di Bali lagi banyak-banyaknya,” imbuhnya. *wid