Denpasar (bisnisbali.com) –Tekanan inflasi Bali pada Juli 2022 diperkirakan bersumber dari kelompok administered price dan volatile food. Diproyeksikan ada empat faktor yang dapat menimbulkan tekanan harga atau inflasi pada Juli 2022. Empat faktor tersebut antara lain pertama, kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) per 1 Juli 2022. Kedua, risiko penyebaran penyakit mulut dan kuku (PMK) yang berpotensi mengganggu pasokan daging ternak di tengah kenaikan permintaan sapi untuk momen Idul Adha atau Qurban.
Ketiga, kenaikan permintaan seiring dengan musim liburan sekolah bagi wisatawan domestik dan liburan musim panas bagi wisatawan mancanegara. Keempat, risiko turunnya produksi hortikultura saat curah hujan tinggi di Provinsi Bali akibat dampak angin monsun dari Australia.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Bali, Trisno Nugroho di Denpasar menjelaskan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota senantiasa melakukan koordinasi dan komunikasi dalam forum High Level Meeting untuk melakukan pemantauan harga dan stok barang, melaksanakan kegiatan operasi pasar serta peningkatan kerja sama antar daerah (KAD) untuk menjamin ketersediaan barang di Pulau Dewata.
Ia pun mengungkapkan untuk surveillance risiko PMK, dilakukan pengawasan hewan ternak 24 jam di setiap pintu masuk baik bandara maupun pelabuhan serta rencana vaksinasi kepada hewan ternak. Trisno pun menjabarkan berdasarkan rilis BPS Provinsi Bali, inflasi Bali pada Juni 2022 mencapai 0,92 persen (mtm), lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 0,71 persen (mtm) dan lebih tinggi dibandingkan inflasi nasional sebesar 0 ,61 persen (mtm).
Peningkatan inflasi di Juni terutama bersumber dari kenaikan harga kelompok volatile food disusul core inflation, sementara itu kelompok administered price mengalami deflasi. Sementara secara tahunan, Bali mengalami inflasi sebesar 5,75 persen (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya sebesar 4,39 persen (yoy) dan inflasi nasional sebesar 4,35 persen (yoy).
Diterangkan kelompok volatile food mengalami inflasi sebesar 3,88 persen (mtm), lebih tinggi dibandingkan Mei yang sebesar 0,71 persen (mtm). Kenaikan harga kelompok volatile food didorong oleh naiknya harga cabai rawit, cabai merah, bawang merah, tomat, telur ayam ras dan daging ayam ras.
“Naiknya harga komoditas cabai rawit, cabai merah, bawang merah dan tomat disebabkan oleh penurunan pasokan dari produksi daerah sentra yang disebabkan cuaca kurang kondusif,” paparnya. Sedangkan kenaikan harga telur ayam ras dan daging ayam ras disebabkan oleh kenaikan kebutuhan bahan pangan selama perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan.
Di sisi lain, laju inflasi volatile food tertahan oleh menurunnya harga minyak goreng yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, produksi CPO dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik dengan melakukan pelarangan ekspor CPO pada Mei 2022. Kelompok barang inflasi inti (core) tercatat sebesar 0,45 persen (mtm), lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 0,80 persen (mtm).
Komoditas utama penyumbang inflasi core adalah canang sari, mi, upah asisten rumah tangga, bakso siap santap dan kopi bubuk. “Peningkatan harga canang sari dipengaruhi oleh kenaikan permintaan untuk perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan. Sementara itu, kenaikan harga mi diakibatkan adanya kenaikan harga gandum sebagai bahan baku pembuatan mi, sedangkan kenaikan harga bakso diakibatkan meningkatnya harga daging ayam ras,” jelasnya.
Di sisi lain, barang administered price mencatat deflasi sebesar -0,09 persen (mtm), lebih rendah dari bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 0,39 persen (mtm). Trisno menambahkan untuk deflasi terjadi terutama disebabkan oleh penurunan tarif angkutan antar kota , angkutan udara dan tarif kendaraan roda dua online . Fenomena ini didorong oleh kembali normalnya permintaan pada Juni 2022 setelah terjadi kenaikan pada bulan sebelumnya sehubungan dengan liburan Hari Raya Idul Fitri 2022. *dik