SELAMA pandemi Covid-19, kasus perdata di Bali mengalami lonjakan cukup signifikan. Menurut I Wayan Karta, S.H., kasus terbanyak adalah sengketa utang piutang antara nasabah dan kalangan perbankan serta antara nasabah dan rentenir. Kenaikannya hampir mencapai 70 persen lebih dibandingkan sebelum pandemi.
“Selama pandemi ini banyak sekali kasus yang saya tangani merupakan kasus perdata. Penyebabnya karena orang atau debitur tidak mampu membayar akibat terdampak pandemi, sehingga jaminan yang diagunkan diajukan permohonkan lelang oleh pihak bank,” kata pengacara ini.
Selanjutnya kasus yang juga banyak ditanganinya adalah permasalahan nasabah karena meminjam uang kepada rentenir. Debitur memang dimudahkan dalam hal persyaratan, namun perlu berhati-hati karena bisa jadi rentenir ini justru menjebak dengan perjanjian yang berpotensi merugikan. Terlebih jika debitur tersebut awam terkait perjanjian utang piutang.
Motifnya, pihak rentenir menjerat korban dengan perjanjian akta jual beli (AJB) gantung. Jika dalam jangka waktu yang disepakati pihak debitur tidak mampu membayar, jaminan tersebut akan dibaliknamakan atas nama si pemberi pinjaman atau pemilik uang. Atau sebaliknya si pemberi dana tidak bisa dihubungi oleh debitur, sedangkan proses perpindahan kepemilikan tanah yang diagunkan debitur terus berjalan yang dilakukan oleh si pemberi pinjaman. Ini secara hukum diakui sah karena dasarnya adalah AJB tersebut. “Saat ini kasus seperti itu paling banyak terjadi di Bali. Saya komitmen memberantas model-model motif kejahatan layaknya mafia tanah ini,” ujarnya.
Bercermin dari kasus itu, pria berpenampilan menarik yang akrab disapa IWK ini menyarankan masyarakat agar jangan buru-buru meminjam uang kepada rentenir atau mafia tanah. Sebab, berpotensi susah mengambil kembali dari hak milik yang dijaminkan tersebut. “Untuk kebutuhan dana, sebaiknya masyarakat memilih lembaga keuangan yang resmi agar harta yang dijaminkan tidak hilang,” ungkapnya. *man