Denpasar (bisnisbali.com) –Beberapa negara diinformasikan rentan menghadapi krisis ekonomi akibat tekanan inflasi. Ditambah lagi sinyal makin agresifnya bank sentral AS (The Fed) dalam menaikkan suku bunga. Menyikapi kondisi tersebut, peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira kepada Bisnis Bali, Selasa (28/6) mengatakan, jumlah cadangan devisa memang jadi salah satu indikator utama ketahanan ekonomi suatu negara.
Indonesia pun dinilai masih memiliki cadangan devisa yang menjadi indikator ketahanan ekonomi di dalam negeri. Salah satunya transaksi berjalan cukup positif sebesar 13,4 miliar dolar AS pada 2021, namun perlu diperhatikan mulai terjadi defisit transaksi berjalan pada triwulan I 2022 sebesar 1,8 miliar dolar AS.
Transaksi berjalan sejauh ini bisa ditutup dari surplus neraca perdagangan yang mengandalkan ekspor komoditas, jika terjadi koreksi pada harga komoditas internasional bukan tidak menutup kemungkinan Indonesia alami defisit transaksi berjalan. “Negara yang rentan terpengaruh gejolak eksternal memiliki defisit transaksi berjalan yang lebar,” tegasnya.
Menurutnya, cadangan devisa Indonesia masih berada di level yang gemuk yakni 135,6 miliar dolar AS (April 2022). Dibanding negara berkembang di kawasan seperti Malaysia 115,5 miliar dolar AS, Filipina 107,3 miliar dolar AS, posisi Indonesia jauh lebih siap hadapi tekanan global.
Dari sisi inflasi, kata dia, indikator inflasi per Mei 2022 ada di 3,55 persen yoy berada di sasaran pemerintah. “Tapi perlu dicermati inflasi harga produsen telah mencapai level 9 persen yang berarti produsen masih menahan kenaikan harga dan menunggu momentum. Inflasi yang rendah juga disumbang oleh ditahannya penyesuaian harga BBM jenis subsidi,” paparnya.
Bhima pun menyebutkan sebanyak 88 persen komposisi utang Rp7.040 triliun berasal dari surat utang atau SBN. Sementara imbas kenaikan suku bunga di negara maju membuat imbal hasil SBN meningkat sebesar 110,8 bps sejak awal tahun 2022. “Risiko beban pembayaran bunga utang diperkirakan akan meningkat jika pemerintah agresif menerbitkan SBN untuk menutup defisit anggaran,” imbuhnya.
Perkembangan posisi cadangan devisa pada Mei 2022 antara lain dipengaruhi oleh penerimaan devisa migas, pajak dan jasa, serta kebutuhan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Ke depan, Bank Indonesia memandang cadangan devisa tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam mendorong pemulihan ekonomi. *dik