Tabanan (bisnisbali.com)–Petani kakao (cokelat) di Kabupaten Tabanan tengah bergairah. Betapa tidak, hasil kakao salah satu sentra produksi ini diserap secara kontinu, bahkan dalam jumlah tak terhingga. Kualitas premium harganya mencapai Rp90.000 per kilogram (kg) sekaligus menjadi harga tertinggi sepanjang 10 tahun terakhir.
Ketua Koperasi Produsen Manik Amerta Buana di Desa Megati, Kecamatan Selemadeg Timur I, I Nyoman Suparman, Minggu (8/5), menyampaikan sekarang ini petani kakao kembali bergairah memelihara tanaman. Mereka melakukan pemupukan, penyemprotan dan meremajakan tanaman. Selain itu, petani kakao mulai mengolah produksinya dalam bentuk fermentasi dari sebelumnya dalam bentuk kualitas asalan (nonfermentasi). Sebab, harga jual kakao fermentasi di pasaran semakin melejit yang tercermin dari naiknya permintaan pasar dan harga jual baik di pasar lokal maupun ekspor.
Selama ini dua perusahaan lokal yang menyerap produksi petani melalui Koperasi Produsen Manik Amerta Buana, biji kakao fermentasi dibeli dengan harga Rp40.000 hingga Rp90.000 per kilogram. Harga Rp90.000 untuk biji kakao fermentasi kualitas premium (grade AA). “Jika dilihat dari posisi harga, Rp50.000 per kilogram saja merupakan tertinggi sejak 10 tahun terakhir. Itu jadi daya tarik bagi petani kakao saat ini,” kilahnya.
Lonjakan harga kakao fermentasi hingga menyentuh Rp50.000 per kilogram terjadi setahun terakhir atau di tengah masa pandemi. Sebelumnya harga untuk kualitas yang sama berkisar Rp37.000 hingga Rp45.000 per kilogram. Bahkan, pada masa jaya-jayanya produksi kakao (tahun 1980-1990) hanya laku di kisaran Rp8.000 per kilogram untuk kualitas nonfermentasi. ‘’Harga yang nonfermentasi sudah naik di atas Rp30.000 per kilogram. Hanya, kami tidak dapat kiriman pasar lagi untuk nonfermentasi karena saya bermain di kakao fermentasi,” tutur Nyoman Suparman.
Produksi kakao fermentasi yang dipasarkan melalui Koperasi Produsen Manik Amerta Buana mencapai 10 ton pada 2021 lalu. Jumlah tersebut disumbang oleh 600 orang petani binaan dari Selemadeg Barat (sentra produksi kakao terbesar di Tabanan), Kecamatan Penebel dan Kecamatan Marga.
Pada musim panen mulai Mei ini sudah masuk permintaan untuk kakao fermentasi mencapai ratusan ton. Selain guna memenuhi kebutuhan pabrik lokal juga untuk kebutuhan pasar ekspor ke Prancis. Untuk memenuhi permintaan pasar tersebut, ia akan bekerja sama dengan koperasi produsen sejenis yang lain.
Ditambahkannya, potensi produksi kakao di Kabupaten Tabanan cukup besar, terutama tahun 1980-1990. Pada 2000 mulai ada serangan hama dan penyakit berupa PBK dan busuk buah hingga puncak serangan tahun 2012. Saat itu banyak petani kakao memilih berhenti mengurus kebun, sehingga produksi menurun.
“PPL kemudian gencar mendorong petani untuk kembali memproduksi karena di kakao sangat mudah mencari uang karena sebab harganya tidak sampai anjlok jauh. Upaya tersebut membuahkan hasil. Petani kakao kembali bangkit hingga saat ini,” pungkas Nyoman Suparman. *man