Denpasar (bisnisbali.com) – Meski secara nasional pertumbuhan ekonomi pada Kuartal I 2022 diprediksi positif, tidak demikian bagi Bali. Masih banyak kendala yang dihadapi untuk pemulihan ekonomi Bali. Bali masih membutuhkan relaksasi dan perlakuan khusus. Situasi ini dianggap seperti bom waktu, yang ketika relaksasi dicabut, kebangkrutan menghantui.
Hal tersebut terungkap pada Talk Show Merah Putih yang digelar Kelompok Media Bali Post, di Warung 63, Denpasar, Rabu (4/5). Dalam diskusi ini mendatangkan, Ketua Badan Pengurus Daerah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPD Hipmi) Bali Pande Agus Permana Widura, Pengamat Ekonomi, Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M., serta pelaku UMKM Putu Andhika Prayatna Sukma.
Sebagai pelaku UMKM, Putu Andhika menuturkan, selama dua tahun terakhir penurunan di sektor usaha, terutama kerajinan sangat drastis. Pria yang bergerak dalam kerajinan uang kepeng ini mengaku, untuk kembali menjalankan usahanya banyak tantangan yang dihadapi.
Pertama terkait SDM yang harus mulai lagi dari nol setelah sekian lama terdiam. Selanjutnya terkait permodalan untuk mulai produksi di tengah himpitan kewajiban dengan perbankan. Hal ini dihantui pula dengan kebijakan relaksasi dari pemerintah yang akan berakhir tahun 2023 mendatang. “Relaksasi tentu sangat membantu, tapi diakhir dampaknya dirasakan. Di satu sisi harus mencicil kembali sesuai kewajiban, disisi lain kami juga butuh permodalan untuk memulai usaha kembali,” ungkapnya.
Ketua BPD Hipmi Bali Pande Agus Permana Widura mengatakan, situasi Bali berbeda dengan nasional yang perekonomian belum bertumbuh dikarenakan 70 persen bergantung pada pariwisata. Kondisi yang dialami Bali saat ini menurutnya sedang tidak baik-baik saja, bahkan terancam bangkrut jika relaksasi nanti berhenti. “Seperti halnya orang sakit yang diinfus. Ketika infus dicabut, akan mati,” ungkapnya.
Menurutnya, Bali membutuhkan perlakuan khusus, termasuk dalam hal pemberian kebijakan relaksasi atau tenor angsuran bisa diperpanjang serta jika memungkinkan bisa cuti bayar 1-2 tahun. Hal ini dikatakannya akan memudahkan bagi pelaku usaha. “Mungkin hutang 1-2 tahun itu akan ada Rp1 triliun bunga yang harus dibayar dan pemerintah bisa membail out (menjamin) itu. Nilai itu tidak sebanding dengan apa yang diberikan Bali selama ini,” ujarnya.
Pihaknya berharap terkait POJK No.17/2021 yang akan berakhir 2023 nanti, bisa diberikan spesifikasi khusus bagi pengusaha yang bergantung pada pariwisata. Menanggapi hal tersebut, Pengamat Ekonomi Prof. Raka Suardana, mengatakan, pemerintah harus bisa memilah dampak dari setiap pencabutan kebijakan. Termasuk jika nanti POJK No.17/2021 berakhir, dilihat juga sisi negatifnya. “Hal ini memang bak memakan buah simalakama. Tentu harus ada pertimbangan yang dilakukan,” ujarnya.
Demikian pula menurutnya, Bali membutuhkan perlakuan khusus dalam situasi ini, karena semua sektor usaha di Bali terkena dampak. Bali sebagai penyumbang devisa dikatakannya harus diselamatkan. Karena jika Bali sakit juga akan berdampak pula dikemudian hari bagi yang lain. *wid