Denpasar (bisnisbali.com) – Dibukanya mobilitas internasional ke Bali telah membuat usaha pariwisata mulai menggeliat. Sejumlah penerbangan internasional telah mengisi rute regional ke Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Meski demikian, kondisi tersebut dinilai masih jauh jika dibandingkan dengan kondisi normal, mengingat telah dua tahun ekonomi Pulau Dewata yang ditopang pariwisata tumbuh negatif.
Melalui POJK nomor 17/POJK.03/2021, OJK memutuskan memperpanjang masa relaksasi restrukturisasi kredit perbankan selama satu tahun dari 31 Maret 2022 menjadi 31 Maret 2023. Perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit ini juga berlaku bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).
Meski perpanjangan ini memberi angin segar, namun tak serta merta disambut positif oleh para pelaku usaha di Bali, khususnya UMKM dan pelaku usaha di bidang pariwisata. Dalam Talk Show Merah Putih, Bali Era Baru di Warung 63, Denpasar, Rabu (4/5), pengamat ekonomi Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M., menilai perpanjangan kebijakan ini tak langsung menyelamatkan dunia usaha di Bali.
“Dengan adanya pandemi Covid-19 selama dua tahun, semua sektor di Bali pasti terimbas. Dengan adanya POJK tersebut, mungkin saat ini pelaku usaha masih bisa bernafas. Bagaimana saat itu sudah berakhir dan kembali normal? Tentu akan sangat memberatkan pelaku usaha khususnya di Bali yang bergantung pada sektor pariwisata,” ungkap IB Raka Suardana.
Ia menilai, dampak pandemi Covid-19 paling berat dirasakan di Bali. Ekonomi Bali yang mengandalkan sektor tersier, di mana 52 persen dari pariwisata, tentu akan berpengaruh terhadap sektor lainnya, karena daya beli masyarakat sudah menurun. Karena itu, ia menegaskan Bali perlu perhatian dan kebijakan khusus. Berbeda dari daerah lainnya di Indonesia yang telah bangkit dari dampak pandemi Covid-19.
Di saat pariwisata sudah mulai menggeliat dengan datangnya wisatawan mancanegara ke Bali saat ini, belum tentu dinikmati langsung oleh pelaku pariwisata lokal, khususnya pemilik hotel yang membutuhkan modal tambahan untuk memaintenance tempat usahanya yang sempat tutup selama dua tahun.
Kondisi ini membuat pelaku usaha di Bali membutuhkan kebijakan khusus, terutama para pelaku usaha yang mengalami kredit macet. Menurut Ketua Badan Pengurus Daerah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPD Hipmi) Bali Pande Agus Permana Widura, permodalan saat perekonomian menggeliat justru menjadi masalah. Kondisi saat pandemi banyak usaha dan peralatan yang mati dan butuh dana untuk maintenance.
“Jika restrukturisasi dihentikan, ini akan menjadi bahaya bagi pelaku UMKM dan pariwisata Bali. Jalan yang bisa dilakukan adalah bisa dengan perpanjangan tenor pinjaman, atau jika mungkin ada cuti bayar selama 1-2 tahun, seperti tidak membayar kewajiban ke perbankan,” urai Pande Agus Permana Widura.
Ia menilai, saat ini tak ada pergerakan untuk pemulihan ekonomi di Bali dan dari sektor pariwisata menyatakan, setidaknya indikasi pemulihan akan terasa pada 2025. Saat ini, menurutnya, Bali sedang sakit. Kondisi inilah yang seharusnya menjadi perhatian khusus dari pemerintah. Ia merasa perlu ada perhatian khusus untuk Bali, seperti dari KSSK.
“Yang bisa melakukan game changer adalah Menteri Keuangan. Selain itu, OJK juga memiliki peran khusus untuk meminta bank yang tergabung dalam Himbara memberi perlakuan khusus bagi pelaku usaha di Bali. Secara nasional pertumbuhan ekonomi memang sudah positif, tapi di Bali belum. Para pengusaha di sini masih belum normal. Geliat pariwisata memang sudah ada, tapi masih jauh dari normal,” tambahnya.
Jika pemerintah bisa mengambil peran, misalnya menanggung bunga, menurutnya Bali mungkin bisa diselamatkan. Ia juga mendesak pemerintah daerah sering berkoordinasi ke pusat, terkait kondisi ini. *rah