Denpasar (bisnisbali.com) – Adanya beberapa kebijakan yang mendukung pariwisata di Bali disambut positif pelaku usaha di daerah ini. Namun dalam upaya mendukung kebangkitan perekonomian dan industri pariwisata diharapkan pula Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2021 mengatur tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah untuk Pelaku Usaha Korporasi Melalui Badan Usaha Penjaminan yang Ditunjuk dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dapat direvisi.
“Pengusaha di Pulau Dewata merasa PMK 32/2021 tersebut tidak bisa mengeksekusi proses kredit yang diajukan ke perbankan. Satu sisi stimulus yang sangat dibutuhkan member Hipmi saat ini, seperti PMK 32 agar segera direvisi sehingga pengusaha Bali bisa memiliki cashflow yang cukup, untuk bisa menyambut pariwisata kembali lagi,” kata Ketua Badan Pengurus Daerah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPD Hipmi) Bali, Agus Pande Widura di Denpasar.
Diakui pelaku usaha di Bali belum merasakan dampak positif dari adanya regulasi PMK 32/2021. Padahal isi regulasi tersebut membantu bagi perusahaan-perusahaan yang memang performanya masih belum bagus, tapi masih hidup. Ia mencontohkan perusahaan di sektor pariwisata. Di tengah pandemi Covid-19 ini sangat terdampak sehingga performa belum bagus namun masih hidup.
“PMK 32 saat ini kan lebih mengatur daripada pendapatan di atas Rp50 miliar, sedangkan pengusaha di Bali rata-rata pendapatan mereka masih di bawah Rp50 miliar. Nah ini yang tidak bisa mendapat bantuan, ketika pengusaha mengambil restrukturisasi. Padahal rata-rata mereka terpukul bisnisnya,” ucapnya.
Diterangkan pemerintah telah mengeluarkan regulasi yang memungkin pelaku usaha mendapatkan akses pembiayan dari perbankan. regulasi tersebut yakni PMK 32/2021 mengatur penjamiann kredit melalui LPEI dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII). Kedua, PMK 71/2020 yang mengatur penjaminan kredit modal kerja Jamkrindo dan Askrindo. PMK 32/2021 memberikan penjaminan kredit untuk korporasi dengan omset di atas Rp50 miliar. Sementara itu, PMK 71/2020 menanggung imbal jasa penjaminan (IJP) atas kredit dengan batas maksimal Rp10 miliar.
Namun, kedua PMK tersebut dinilai tidak mampu mengakomodir pelaku usaha di Bali yang memiliki omset di bawah Rp50 miliar, tetapi membutuhkan kredit di atas Rp10 miliar. “Jujur saja berapa sih pengusaha Bali yang pendapatannya Rp50 miliar per tahun. tahun sedangkan ada PMK 71 mengatur tentang tidak lebih dari Rp10 miliar,” ucapnya.
Menurutnya hotel merupakan bisnis padat karya yang tentunya memerlukan nilai investasi di atas Rp10 miliar, sedangkan pendapatannya belum tentu sampai dengan Rp50 miliar ke atas. “Nah ini yang saya minta di revisi PMK 32/2021,” harapnya.
Lalu ia berharap ada perpanjangan untuk POJK 48, atau restrukturisasi. “Sebab saya melihat, apabila itu dicabut karena pertumbuhan ekonomi nasional sudah membaik. Itu sangat berbahaya buat Bali yang saya lihat masih jauh dari kata membaik,” tegasnya. Sebab tumpuan ekonomi Bali, lebih dari 50 persennya adalah pariwisata. Sedangkan pariwisata saja belum bergerak penuh di Pulau Seribu Pura ini. *dik