Mangupura (bisnisbali.com) – Goodform Bali, perusahaan produksi film yang berlokasi di Los Angeles dan Bali merilis film aksi fiksi ilmiah ‘Anomaly’. Film ini disutradarai oleh Brian L. Tan, sutradara dengan pengalaman mengerjakan visual effects untuk film-film blockbuster Hollywood seperti ‘Tron: Legacy’, ‘X-Men’, ‘Girl with the Dragon Tattoo’. Salvita De Corte (‘Halfworlds, ‘Ratu Ilmu Hitam’) dan Mike Lewis (‘Foxtrot Six’, ‘Dead Mine’) juga membintangi film yang diproduksi di Bali ini bersama Joseph J. U. Taylor (‘Monkey Man’, ‘Strike Back’), Quisha Saunders (‘American Gangster’, ‘When in Rome’), dan John Walker Six.
Film ‘Anomaly’ bercerita tentang Alpha yang memimpin sebuah tim terdiri dari lima tentara elit yang diturunkan ke lokasi reruntuhan kuno di tengah hutan. Misi mereka adalah untuk mengamankan sebuah misteri anomali yang menunjukkan aktivitas paranormal aneh. Apa yang biasanya adalah misi rutin mereka, menjadi sebuah misi yang tak terduga bagi mereka. Film ini mengambil lokasi syuting di Bali dan salah satunya di bekas bangunan Taman Festival Bali, Padanggalak.
Brian L. Tan menceritakan idenya berasal dari sebuah pemikiran. “Saya percaya bahwa musuh terburuk kita sendiri sering berakhir dengan diri kita sendiri. Kita semua pernah menjadi korban sabotase diri, pemikiran yang berlebihan, dan keraguan diri yang disebabkan oleh pikiran kita sendiri. Jadi sebagai sutradara aksi, saya pikir saya akan mencoba membuat film yang mewakili pandangan dunia saya. Saya mengobrol dengan Zaike, penulis kami tentang tema ini, dan dari situlah Anomali lahir!,” ujarnya.
Untuk pendekatan genrenya di mana ia mencampurkan antara fiksi ilmiah dan aksi, ia memberikan penjelasannya. “Hal-hal terbaik dalam hidup seringkali merupakan campuran dari dua hal yang biasanya tidak berjalan bersama. Saya suka sci-fi dan aksi, dan saya berpikir: Mengapa tidak saya coba menggabungkan keduanya untuk memberikan kita yang terbaik dari kedua dunia yang berbeda dengan sentuhan tropis? Saya selalu terinspirasi oleh film-film sci-fi membumi yang memiliki kaitan futuristik, tetapi masih relevan dan dapat diterapkan dalam kehidupan kita saat ini,” tambahnya.
Brian yang menganggap dirinya sebagai ‘Balifornian’ karena tinggal di California dan Bali menceritakan pesona Bali baginya. “Bali adalah kanvas yang sangat unik untuk ‘Anomaly’. Hollywood hanya mengetahuinya Bali sebagai tempat pesta, wisata atau tempat spiritual. Saya ingin menjelajahi sisi pulau Dewata yang lebih gelap dan lebih menyeramkan, yang belum pernah digarap oleh siapa pun sebelumnya dalam film dan pengambilan gambar di taman hiburan yang dibiarkan terbengkalai di Sanur memberi kami latar belakang unik yang tidak dapat diberikan oleh tempat lain di dunia.”
Proses syutingnya yang menantang juga sangat menyenangkan bagi Brian. “Belum pernah ada yang mencoba film aksi sebesar ini di Bali sebelumnya. Kami harus menggunakan kembali banyak senjata Airsoft mainan dari Jakarta, membangun seluruh portal yang tampak seperti dunia lain di tengah hutan, menemukan kamera Red Gemini kedua yang cocok dengan milik kami, bekerja selama 14 jam penuh di akhir pekan di tengah hutan, dan menyulap helikopter yang berwarna oranye menjadi hitam. Film ini sangat sulit untuk dilakukan, tetapi saya dengan senang hati akan melakukannya lagi mengingat bagaimana hasilnya,” ceritanya.
Salvita De Corte, yang berdarah setengah Bali, menyetujui kata-kata Brian. “Saya melakukan banyak hal yang biasanya tidak saya lakukan, naik helikopter, paintball, saya belajar banyak hal tentang militer. Selain itu, sangat keren bekerja dengan kru dan aktor yang berbasis di Bali. Berkolaborasi dengan orang-orang dari luar dan dalam negeri selalu menyenangkan. Semua orang benar-benar ramah dan bersahabat.”
Begitu pun yang dirasakan oleh Mike Lewis. “Sangat menyenangkan bekerja sama dengan orang-orang dari latar belakang dan pengalaman yang berbeda sebagai aktor. Setiap orang membawa sesuatu yang unik. Mulai dari pengalaman militer AS John atau latar belakang Hollywood Quisha dengan aktor seperti Denzel Washington. Joe juga merupakan seorang pelatih akting, jadi dia adalah seseorang yang selalu bisa Anda andalkan untuk meminta nasihat,” ungkapnya.
Film ini diambil semua gambarnya di Bali dengan penggabungan kru dari luar dan dalam negeri dan Bali. Sinematografer dan Produser Austin Ahlborg yang terkenal karena dengan karyanya di bidang komersial, naratif, dan dokumenter di seluruh dunia mengatakan. “Bekerja di pulau Dewata dengan budaya baru itu sangat unik dan menginspirasi saya dalam banyak hal. Kami syuting di beberapa lokasi di hutan liar dengan kru campuran ekspatriat dan Bali yang membuatnya film ini sangat beragam dan menarik. Kami selalu belajar dan mengalami hal-hal baru yang membuatnya tim kami sangat segar dan terinspirasi,” urainya.
Produser Eksekutif Patrick Tashadian yang telah bekerja bersama dengan Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto mengatakan bahwa Indonesia punya potensi besar. “Indonesia selama beberapa waktu ini telah memiliki banyak produksi film internasional dan telah memberikan pengalaman yang tak terhapuskan di mana kita dapat belajar dan tumbuh dari dalam industri. Saya merasa sekarang Indonesia terbukti sangat kompeten dan mahir secara teknis dalam menyediakan produksi yang mendukung dalam berbagai format mulai dari naratif, faktual dan variasi,” katanya.
Produser Andrea Pasquettin memberikan visinya, “Tujuan kami adalah untuk membuat sebanyak mungkin orang-orang melihat film ini. Dunia perlu melihat betapa menakjubkannya Indonesia dan Bali sebagai tempat yang kreatif. Film yang direkam di sini dapat dibuat dengan budaya, suasana, pemandangan dan komunitas yang luar biasa.
Patrick menutup dengan menambahkan harapan mereka, “Kami berharap film pendek ini dapat diadaptasi menjadi sebuah film layar lebar yang dapat memanfaatkan bakat-bakat lokal Indonesia yang tersedia dikemas dengan arahan sutradara Brian dan keterampilan fotografi Austin. Sebagai bukti konsep yang kami yakin bahwa kami mampu mengeksekusi film aksi skala internasional yang juga dapat beresonansi di market lokal.” *rah