Gianyar (Bisnis Bali.com)-
Mengangkat disertasi dengan judul “Rekonstruksi Hukum Rehabilitasi Bagi Pecandu Dan Korban Penyalahguna Narkotika”. Promovendus, Wawan Edi Prastiyo telah mengungkap kondisi korban penyalahguna narkotika di Indonesia, yang lebih dominan dijebloskan ke lembaga permasyarakatan dibandingkan yang mendapat rehabilitasi. Hal ini terungkap dalam sidang terbuka promosi Doktor Ilmu Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana, pada Kamis (17/2).
Promovendus, Wawan Edi Prastiyo mengungkapkan fakta yang ditemukan selama penelitian, bahwa korban penyalahguna narkotika yang sejak ditangkap dipasangkan pasal ganda, sehingga mereka berujung di Lembaga Pemasyarakatan. “Kemudian di Lapas mereka berkumpul dengan bandar dan pengedar, sehingga mereka semakin terpuruk, tidak bisa menghilangkan ketergantungan terhadap zat-zat adiktif yang diderita oleh para pecandu dan korban penyalahguna narkotika, “katanya.
Dalam disertasi ini juga dibeberkan sejumlah putusan pidana penjara untuk korban penyalahguna narkotika. Seperti lima Putusan terhadap perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika dengan rata-rata barang bukti dibawah 1 gram. Putusan tersebut seluruhnya menjatuhkan hukuman pidana penjara. Demikian pula lima putusan Pecandu dan korban penyalahguna narkotika dipidana dengan pidana penjara meskipun dapat dijatuhkan rehabilitasi. Ada pula lima putusan untuk Pecandu dan Korban Penyalahguna Narkotika dipidana dengan pidana penjara dan rehabilitasi.
Dikatakan kebijakan rehabilitasi dilakukan banyak negara untuk menanggulangi kejahatan narkotika. Seperti Negara Portugal mengambil kebijakan dekriminalisasi bagi pecandu dalam menanggulangi kejahatan narkotika. Berdasarkan data semenjak dilakukan kebijakan dekriminalisasi bagi pecandu dan korban penyalahguna narkotika, tercatat angka kematian karena overdosis menurun dari tahun 1999 berjumlah 369, kemudian pada tahun 2016 berjumlah 30. Penyakit HIV karena penyalahgunaan narkotika pada tahun 2000 berjumlah 907 pada tahun 2017 berjumlah hanya 18.
Ditambahkan kebijakan rehabilitasi di Indonesia diatur dalam Bab IX Pengobatan dan Rehabilitasi Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam konteks penegakan hukum, hakim lebih banyak menjatuhkan pidana berupa pidana penjara dibandingkan dengan rehabilitasi meskipun terdakwa memenuhi kriteria dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010. “Alhasil pecandu dan korban penyalahguna narkotika yang pernah menjalani pidana penjara kembali menjadi pelaku yang lebih berat yakni menjadi bandar narkotika, “ ungkapnya.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, rekonstruksi pengaturan rehabilitasi dilakukan dalam beberapa aspek yakni: 1) Redefinisi tentang terminologi pecandu dan korban penyalahguna narkotika, dimana perlu ada persamaan terminologi bahwa tindakan pecandu dan korban penyalahguna narkotika tidak lagi dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, namun diperspektifkan sebagai korban. 2) Rekonstruksi pengaturan rehabilitasi dilakukan dalam pendekatan kesehatan, sehingga negara bertanggung jawab penuh terhadap pembiayaan rehabilitasi. Rekonstruksi rehabilitasi sebagai tindakan terhadap pecandu dan korban penyalahguna narkotika dilaksanakan sesuai dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan sebagaimana yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila. 3) Rekonstruksi mengenai rehabilitasi di masa yang akan datang juga harus dibatasi yakni tidak diberikan kepada residivis. 4) Rekonstruksi peraturan kebijakan tentang penahanan juga perlu dilakukan dimana penahanan langsung dilakukan di panti rehabilitasi atau rumah sakit pemerintah/swasta yang ditunjuk pemerintah. 5) Penerapan konsep judicial pardon bagi pecandu dan/ atau korban penyalahguna narkotika. 6) Model pemeriksaan perkara dalam proses peradilan pidana bagi pecandu dan korban penyalahguna narkotika di masa mendatang dengan acara pemeriksaan singkat sepanjang telah mendapat Laporan Hasil Assesmen bahwa yang bersangkutan adalah pencandu dan korban penyalahguna narkotika. Rekonstruksi ini sesuai dengan asas trilogi peradilan dan adagium justice delayed is justice denied.
Desertasi berhasil dipertahankan oleh Promovendus Wawan Edi Prastiyo dihadapan delapan orang penguji, Dekan Fakultas Hukum Unud, Dr. Putu Gede Arya Sumerta Yasa, S.H., M.Hum sebagai Ketua Tim Penguji, Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S sebagai Promotor, Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H sebagai Ko. Promotor 1, Dr. I Dewa Made Suartha, S.H., M.H sebagai Ko. Promotor 2. Penguji internal yaitu Prof. Dr. Drs. Yohanes Usfunan, S.H., M.Hum, Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, S.H., S.U, Dr. I Gusti Ketut Ariawan, S.H., M.H dan Dr. I Gede Artha, S.H., M.H, Sedangkan penguji eksternal Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.H dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM). Bahkan promovendus yang kini bertugas sebagai Asisten Hakim Agung di Mahkamah Agung dinyatakan lulus sebagai doktor ilmu hukum dengan predikat cumlaude (dengan pujian) dengan IPK 3,9 dalam waktu studi tercepat 2 tahun 7 bulan, ucap Dekan FH Unud Dr. Putu Gede Arya Sumerta Yasa, S.H., M.H saat membacakan hasil penilaian Tim Penguji.*kup