Denpasar (bisnisbali.com) – Pandemi Covid-19 telah meluluhlantahkan perekonomian Bali yang bergantung pada pariwisata. Momen ini mengingatkan untuk menekankan harmonisasi antara penguatan budaya dan pengembangan sektor pariwisata Bali.
Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Gubernur Bali Prof. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) saat menjadi pembicara pada Bincang Budaya Nata Cintya Mani yang berlangsung di Aula Widya Sabha Mandala Kampus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Sabtu (27/11). Cok Ace mengatakan, pendemi Covid-19 yang meluluhlantahkan perekonomian Bali memberi sebuah pelajaran bahwa ketidakharmonisan antara perkembangan pariwisata dan penguatan budaya yang terjadi harus segera dibenahi. “Kita diingatkan agar jangan tersesat lebih jauh lagi ke dalam materialistik,” ujarnya.
Pada kesempatan ini, menceritakan sejarah awal perkembangan pariwisata Bali. Merunut ke belakang, pada era tahun 30-an, Bali dikenal sebagai daerah agraris yang menjiwai perkembangan budaya masyarakatnya. Saat itu, satu dua orang asing mulai datang, bukan untuk tujuan wisata tapi dengan kepentingan lain.
Ketika berkunjung ke Bali, satu dua orang asing itu takjub dengan keindahan alam dan keunikan seni dan budaya Bali. “Mereka mendapati sebuah pulau yang begitu eksotis lalu tertarik membawa kolega lainnya berkunjung. Oleh masyarakat Bali, awalnya mereka belum disebut turis, tapi krama tamiu. Demikianlah awal perkembangan pariwisata Bali,” tuturnya.
Hingga era tahun 70-an, menurut Cok Ace budaya masih dominan dan pariwisata masih dianggap sebagai bonus. Seiring makin banyaknya turis yang berkunjung ke Pulau Dewata, sektor pariwisata Bali booming pada tahun 90-an yang mulai memicu kekhawatiran akan munculnya ketimpangan antara budaya dan pariwisata. Kekhawatiran ini kemudian dijawab dengan pembentukan kawasan khusus pariwisata di Nusa Dua yaitu BTDC. “Tujuannya agar kantong-kantong budaya tetap dijaga,” imbuhnya.
Namun pesatnya perkembangan pariwisata tak dapat dibendung hingga mengakibatkan fase ekonomi Bali langsung mengalami lompatan dari sektor primer (agraris) dan sektor tersier (jasa pariwisata), tanpa melewati tahap sekunder. Lompatan ini menyebabkan Bali belum siap dengan pondasi industri, seperti pengolahan sayur mayur dan buah menjadi produk pangan olahan yang sejatinya dibutuhkan untuk menjaga stabilitas proses produksi hasil pertanian. “Kita belum siap dengan industri pengolahan. Hasil pertanian seperti buah, sayur dan lainnya hanya dijual begitu saja, padahal fase sekunder sangat kita butuhkan,” ujarnya.
Wagub yang juga menjabat sebagai Ketua BPD PHRI Bali ini menambahkan, disharmoni antara budaya dan pariwisata memuncak di era tahun 2000. Ia menyebut Bali berada di persimpangan dan dihadapkan pada pilihan sulit hingga akhirnya sebagian memilih sektor pariwisata yang memang menawarkan kesejahteraan.
Pandemi Covid-19 ini kemudian memberikan pelajaran bagi Bali yang harus mencari peluang lain, selain pariwisata. Menurut dia, Visi ’’Nangun Sat Kerthi Loka Bali’’ dengan konsep pembangunan satu pulau satu tata kelola menjadi satu jawaban untuk mengembalikan harmonisasi sektor pariwisata dan budaya. *wid