Denpasar (bisnisbali.com) – Permasalahan kredit macet selalu menjadi momok bagi lembaga keuangan. Meski ada agunan yang bisa dilelang, namun saat tak ada peminat atas agunan tersebut, menjadi permasalahan rumit bagi lembaga keuangan tersebut. Jika Bank Umum bisa membeli agunan tersebut, namun tak begitu dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Kondisi inilah yang melandasi PT BPR Lestari Bali melalui Kuasa Hukum dari Kantor Sari Law Office, Denpasar, di bawah pimpinan managing partner Dr. (c) I Made Sari, SH, MH, CLA dengan tujuh orang tim lawyer, mengajukan Permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 12A ayat (1) Undang-Undang Perbankan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan nomer register 102/PUU-XVIII/2020 yang putusannya diucapkan pada Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari Rabu, 29 September 2021.
Majelis Hakim MK dalam amar putusannya memutuskan mengabulkan permohonan pemohon, karena Majelis Hakim menilai Pasal 12A ayat (1) UU 10/1998 memerlukan kepastian hukum agar tidak terjadi multitafsir, serta demi persamaan perlakuan pelelangan kepada BPR di seluruh daerah secara nasional, termasuk perlakuan yang sama antara BPR konvensional dan BPR Syariah. Majelis Hakim MK menegaskan frasa “Bank Umum” dalam Pasal 12A ayat (1) UU 10/1998 haruslah dimaknai “Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat”, sebagaimana pertimbangan hukum poin [3.16] dalam putusan tersebut.
“Sekarang, BPR sudah memiliki kedudukan yang sama dengan Bank Umum, Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah terkait agunan yang diambil alih (AYDA). Ini merupakan angin segar bagi BPR di seluruh Indonesia, terutama pada kondisi saat ini yang berakibat pada sepinya minat calon pembeli melalui lelang,” ungkap I Made Sari dalam jumpa pers di Denpasar, Jumat (1/10).
Para Kuasa Hukum Pemohon sangat menghormati putusan Majelis Hakim MK, yang telah memberikan putusan yang seadil-adilnya, meski Pemerintah dan DPR dalam keterangannya menyebut Pemohon tidak memiliki Legal Standing dan tidak ada kerugian konstitusionalitas Pemohon.
BPR Lestari telah mengajukan Judicial Review di MK untuk memperjuangkan hak BPR agar dapat membeli agunan melalui lelang, yang selama ini hak itu hanya diberikan kepada Bank Umum. Meskipun sidang ini dalam masa pandemi yang mengakibatkan proses sidang di Mahkamah Konstitusi dilakukan secara daring, yang mengakibatkan jadwal sidang sering terganggu sehingga memakan waktu yang cukup lama, hampir satu tahun. Dalam keadaan normal, waktu sidang di Mahkamah Konstitusi biasanya tidak sampai lebih dari 4 sampai 6 bulan.
Sehubungan dengan perjuangan BPR Lestari yang sudah berhasil dikabulkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, menurut Made Sari, keberhasilan ini bukan hanya bagi BPR Lestari, tetapi bagi seluruh BPR di Indonesia. “Karena putusan ini berlaku bagi BPR di seluruh Indonesia sejak diucapkan oleh Majelis Hakim MK,” tandas Made Sari. *rah