Denpasar (bisnisbali.com) –Di tengah pandemi Covid-19 tak sedikit masyarakat yang terjun ke sektor pertanian. Hal ini membuat banyak produk pertanian yang dihasilkan termasuk produk turunannya. Produk ini pun memiliki nilai jual lebih tinggi.
Kepala Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Ir. Nyoman Suarta, M.Si. mengatakan, masyarakat petani saat ini telah banyak yang berfokus pada pengolahan pangan, terlebih para istri petani. Hasil produksi bahan pangan oleh petani diolah oleh para istri dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) menjadi bahan pangan bernilai tinggi.
Nilainya pun bisa meningkat 10 kali lipat dibanding dengan hanya menjual bahan pangan mentah. Seperti keladi yang biasanya dijual di pasar Rp5.000 per kilogram, dengan diolah menjadi tepung keladi, harganya menjadi lebih tinggi yaitu Rp25.000 per kilogram. Apalagi di masa pandemi ini, ketika industri pariwisata yang biasa menyerap produk pertanian petani tidak bekerja dengan baik, maka hasil olahan pertanian dapat menjadi penopang.
Selain itu, penjualan produk turunan ini langsung dilakukan oleh petani yang membuat hasil yang didapatkan menjadi lebih tinggi. “Mereka (istri petani) kami ajarkan juga caranya jualan di marketplace dan sebagainya dengan pemanfaatan teknologi digital saat ini,” terangnya.
Demikian Suarta menjelaskan, Bidang Penganekaragaman memiliki program Pekarangan Pangan Lestari (P2L) yang mana selama tiga tahun pendampingan, tidak hanya proses menanam yang didampingi tapi di tahun kedua, KWT didorong untuk membuat benih dan bibit secara mandiri. Setelah itu di tahun ketiga, KWT didorong untuk mengolah hasil pertaniannya.
Beberapa KWT yang pernah dibina di ataranya KWT Tulus Bakti Desa Panji yang menolah cabai menjadi cabai kering. Seperti diketahui, cabai merupakan komoditi yang mengalami fluktuasi harga yang ekstrem sehingga upaya mengolah cabai terus didorong pemerintah. Selain itu, mengolah jahe yang dilakukan KWT Jempiring telah mampu membawa olahan jahe Gianyar terbang ke Australia. Dengan demikian, selain dapat mencukupi kebutuhan lokal, jahe dapat diekspor ke negara tetangga.
Dari 294 KWT yang telah dibina, kata Suarta setelah tiga tahun KWT tetap berjalan bahkan ada yang maju. Ia menargetkan 714 desa mendapat pembinaan dari pemerintah. Pembinaan tidak hanya pada proses hulu, tapi juga di hilir dan pemasaran dengan digitalisasi. P2L menurutnya, tidak hanya meningkatkan taraf hidup petani tapi juga berdampak pada lingkungan. “Pada Agro Pertiwi misalnya, lahan yang awalnya dipenuhi sampah plastik, ketika dimanfaatkan menjadi lahan produktif, warga tak ada lagi yang membuang sampah kesana,” ujarnya. *wid