Jakarta (bisnisbali.com) – BRI Group yang terdiri dari BRI sebagai induk, serta 7 perusahaan anak yakni BRI Agro, BRI Remittance, BRI Life, BRI Finance, BRI Danareksa Sekuritas, BRI Ventures dan BRI Insurance telah mencanangkan visi untuk menjadi The Most Valuable Banking Group in South East Asia & Champion of Financial Inclusion. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Utama BRI Sunarso pada acara dalam CEO Talk (03/09) yang diselenggarakan BRI Corporate University dengan tema Establishing an Ultra Micro Ecosystem: New Driver to Grow Sustainably, to be a Champion of Financial Inclusion.
Sunarso menjelaskan bahwa perseroan telah melakukan transformasi Brivolution 1.0 sejak tahun 2016 dengan visi “The Most Valuable Bank in Southeast Asia and Home to The Best Talent”, namun seiring dengan terjadinya pandemi maka dilakukan transformasi BRIvolution 2.0.
“Maka kemudian kita lakukanlah evaluasi terhadap BRIVolution 1.0 itu, kemudian kita ciptakan transformasi lanjutannya, yaitu transformasi 2.0 di mana pemicunya adalah tantangan-tantangan yang disebabkan oleh dampak dari pandemi. Maka kemudian visi kita, kita sesuaikan menjadi The Most Valuable Banking Group in Southeast Asia & Champion of Financial Inclusion,” imbuhnya.
Sesuai visi tersebut, maka fokus pertumbuhan tidak hanya pada BRI secara bank only namun juga termasuk perusahaan anak yang tergabung dalam BRI Group. BRI Group bertransformasi menjadi penyedia jasa keuangan yang terintegrasi.
“Maka kemudian kami ingin punya perusahaan anak yang merepresentasikan kelengkapan jasa dan produk-produk industri keuangan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Maka bank kita punya, syariah kita punya yang akhirnya di konsolidasikan, diintegrasikan menjadi BSI. Kemudian life insurance kita punya, general insurance kita punya, sekuritas kita punya, investment company kita punya. Menurut saya sekarang kita sudah punya kelengkapan pabrik dari jasa-jasa keuangan. Dan ini lah grup yang kita harapkan,” lanjut Sunarso.
Perusahaan anak BRI nantinya akan difokuskan pada dua fungsi, yakni mendiversifikasi income, dan perusahaan anak juga harus mampu sebagai alat untuk melakukan spreading risk.
“Dari sisi risiko, kalau kita taruh di satu perusahaan ternyata risikonya terlalu terkonsentrasi maka kita bisa pecah di perusahaan lain dengan bentuk-bentuk produk yang lain. Misalnya pembiayaan tidak harus melalui loan atau kredit, tapi kita tetap bisa melakukan pembiayaan-pembiayaan dengan format atau produk yang lain, misalnya dengan instrument lain. Kemudian instrument itu karena setiap saat kita bisa jual, kita pegang risiko dalam jangka pendek tapi perputarannya cepat. Mungkin marginnya tipis tapi sering bisa kita turn over. Itu adalah contoh bagaimana kita mengelola perusahaan anak.” pungkas Sunarso. *rah