Denpasar (bisnisbali.com) – Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai tidak menjadi salah satu pintu masuk (entry point) bagi Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN). Kondisi ini menjadi perhatian pelaku usaha di Pulau Dewata dan diharapkan kebijakan tersebut bukan untuk “menidurkan” Bali.
Ketua Badan Pengurus Daerah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPD Hipmi) Bali, Pande Agus Permana Widura di Denpasar menyampaikan kebijakan PPLN membuat belum dibukanya terminal internasional di Bandara I Gusti Ngurah Rai. Ia menilai mau ada kebijakan PPKM ataupun PSBB, tidak masalah, yang penting airport dibuka. Sebab kebijakan entry point bagi PPLN terkesan pilih kasih.
“Kenapa Bali tidak boleh sementara pusat boleh menjadi pintu PPLN dan lokasi karantina? Ada apa dengan Bali? Itu uangnya Rp 250 miliar per bulan,” katanya.
Tidak masuknya Bali sebagai pintu PPLN dan lokasi karantina, menurutnya juga menjadi keputusan yang sangat konyol. Sebab bila dikomparasi dengan DKI Jakarta, Medan, Surabaya, dan Manado, Bali memiliki sarana prasarana yang memadai. Bahkan ditilik dari fasilitas perhotelan, Pulau Seribu Pura mempunyai standar sangat tinggi, khususnya ketika berbicara keamanan dan kesehatan selama proses karantina.
Untuk tempat karantina, Bali lebih mendukung daripada Jakarta dan Surabaya, mengingat tempat di Bali tidak bergedung seperti di kota-kota besar di Indonesia. Pengusaha muda di sektor pariwisata ini berharap berbagai kebijakan pemerintah pusat bukan upaya menidurkan Bali.
“Kami harapkan tidak seperti itu. Saya juga tanya dengan petinggi-petinggi di pusat juga tidak memberikan alasan jelas. Saya jadi berpikir, apakah memang Bali ingin ditidurkan,” tegasnya.
Bila Bali terkesan sengaja ditidurkan dikhawatir akan menimbulkan kerusakan permanen untuk kepariwisataan ke depannya. Untuk itu ia meminta seharusnya Bali dibuka saja. “Ketika tidak dilakukan, kita kan berpikir, kapan Bali akan di recovery? Karena setiap kita mau buka, ada PPKM. Tidak adilnya lagi, PPKM darurat ini seolah-olah menjadi permainan kata-kata dari pemerintah untuk lepas tangan dari karantina wilayah. Kita paham pemerintah tidak punya uang, tetapi kita di Bali jangan dibunuh juga,” terangnya.
Disinggung PPKM darurat Jawa Bali, Mantan Ketua DPD REI Bali ini juga mengkritisi sikap tegas aparat. Belum lagi muncul soal ancaman pencopotan terhadap kepala daerah yang dianggap gagal menangani penyebaran Covid-19. “PPKM darurat Jawa Bali rasa lockdown sudah seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat,” katanya.
Yang terjadi, pemerintah pusat dengan mudah menjatuhkan sanksi, tanpa memberikan solusi. Batas waktu operasionalisasi usaha, dituding bentuk pembunuhan paksa terhadap pengusaha. Masyarakat harus bertahan hidup di tengah pandemi ini. Tetapi pemerintah seakan ingin membunuh warganya, dengan aturan batas waktu operasional. “Perlu diingat, PPKM darurat ini bukan Undang-Undang,” ucapnya. *dik