Sabtu, November 23, 2024
BerandaBaliKeluhkan PMK 32/2021, Pelaku Usaha Tak Bisa Eksekusi Kredit

Keluhkan PMK 32/2021, Pelaku Usaha Tak Bisa Eksekusi Kredit

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2021mengatur tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah untuk Pelaku Usaha Korporasi Melalui Badan Usaha Penjaminan yang Ditunjuk dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Denpasar (bisnisbali.com) –Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2021mengatur tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah untuk Pelaku Usaha Korporasi Melalui Badan Usaha Penjaminan yang Ditunjuk dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Namun kenyataannya, pengusaha di Pulau Dewata merasa PMK 32/2021 tersebut tidak bisa mengeksekusi proses kredit yang diajukan ke perbankan.

Ketua Badan Pengurus Daerah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPD Hipmi) Bali, Agus Pande Widura di Denpasar, Rabu (14/7) mengaku, pelaku usaha di Bali belum merasakan dampak positif dari adanya regulasi PMK 32/2021. Padahal isi regulasi tersebut membantu bagi perusahaan-perusahaan yang memang performanya masih belum bagus, tapi masih hidup. “Perusahaan di sektor pariwisata contohnya. Di tengah pandemi Covid-19 ini sangat terdampak sehingga performa belum bagus namun masih hidup,” katanya.

Menurutnya bila mencermati isi PMK 32/2021 itu maka pemerintah menjamin selama tiga tahun. Artinya ketika di perbankan memberikan kredit kepada end user itu dijamin oleh pemerintah, melalui LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia) sebagai penjamin dan PT Penjamin Infrastruktur Indonesia (Persero) selaku pelaksana dukungan loss limit termasuk pelaksanaan penjaminan bersama. “Kenyataan di lapangan tidak demikian,” ujarnya.

Salah satu batu sandungan adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 48 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019. POJK tersebut mengatakan tentang tiga pilar seperti ketepatan dalam membayar, prospek usaha debitur dan kondisi keuangan debitur.

“Ini membuat bank dan OJK saling tuding-tudingan. Pascapertemuan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Nusa Dua, 9 April 2021, OJK pusat bilang sudah tidak ada pilar-pilar lagi, dan mereka siap untuk mengeluarkan (kredit),” ungkapnya.

Agus Widura pun menilai PMK 32/2021 juga tak bisa dieksekusi, lantaran ketimpangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Ekonomi secara nasional tidak dipungkiri sudah membaik, namun perekonomian Bali yang bertumpu dari pariwisata masih terperosok.

Pihaknya melihat di luar daerah ada 13 sampai 14 perusahaan sudah menggunakan PMK 32/2021 yang juga bergerak di bidang pariwisata. Ini artinya perbankan di luar Bali berani mengucurkan dana melalui PMK 32/2021 itu dengan penjaminan dari LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia) sebagai penjamin dan PT Penjamin Infrastruktur Indonesia (Persero) selaku pelaksana dukungan loss limit termasuk pelaksanaan penjaminan bersama.

“Sementara di Bali perbankan terkesan tebang pilih. Mereka (perbankan) tidak satu pun ada yang berani ambil keputusan dan berkorban karena melihat secara bisnis memang betul, lebih baik membantu orang yang masih ada masa depannya, daripada Bali yang tidak jelas masa depannya,” imbuh mantan Ketua DPD REI Bali ini.

Agus Widura pun membandingkan PMK 32/2021 dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 19 dan 20 Tahun 2021. Inmendagri Nomor 19 tahun 2021 memuat revisi sebagian diktum ketiga dari Inmendagri nomor 15 Tahun 2021 terkait pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat.

Sementara Inmendagri 20 Tahun 2021 merupakan perubahan Inmendagri 17 Tahun 2021 tentang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berbasis mikro, yang berlaku di luar Pulau Jawa dan Bali.

Menurutnya kedua Inmendagri itu lebih ditakuti, dibandingkan PMK 32/2021 yang terkesan tak lebih dari “macan kertas”. Sebab PPKM di Inmendagri bukan Undang-Undang tetapi bisa memberikan sanksi kepada pemerintah daerah ketika tidak mengikuti. Berbeda dengan PMK 32/2021 yang juga bukan Undang-Undang, tidak bisa memberikan sanksi kepada perbankan. “PMK 32/2021 kalau tidak dijalankan, tidak memiliki konsekuensi hukum. Kondisi ini tentu sangat tidak adil bagi Bali,” ucapnya. *dik

Berita Terkait
- Advertisment -

Berita Populer