Denpasar (bisnisbali.com) – Pandemi Covid-19 masih tetap ada sampai saat ini sehingga kondisi ini merupakan momen yang tepat bagi sektor pariwisata untuk menata ulang strategi menuju pariwisata yang berkelanjutan. Seperti salah satu strategi Kemenparekraf yang disetujui oleh Presiden Jokowi adalah pengembangan desa wisata.
“Selama pandemi Covid-19 masih berlangsung, maka desa wisata dipersiapkan sebagai penopang pariwisata yang berkualitas, berkelanjutan, berbudaya, dan berkearifan lokal,” kata Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Bali, Trisno Nugroho saat sebagai keynote speaker pada kegiatan “CHSE Desa Wisata Kunci Menerima Wisatawan” baru-baru ini.
Menurut pandangan BI, key success factor dalam pengembangan desa wisata saat ini di antaranya pertama, digitalisasi merupakan suatu keharusan, khususnya melalui pemanfataan teknologi dalam promosi dan pengelolaan desa wisata.
Kedua, kreativitas dan novelty, melalui penciptaan nilai tambah terhadap atraksi (seni, budaya, alam) dengan tetap menjaga kelestariannya. Ketiga equality, di mana pengelolaan desa wisata harus melibatkan seluruh lini dalam komunitas. Selanjutnya keempat Cleanliness, Healthy, Safety and Environtmental Sustainability (CHSE) yakni penerapan protokol kesehatan dalam lingkungan desa wisata sesuai dengan standar sertifikasi dari Kemenparekraf sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Nomor 13 Tahun 2020 Tentang Standar Dan Sertifikasi Kebersihan, Kesehatan, Keselamatan, Dan Kelestarian Lingkungan Sektor Pariwisata Dalam Masa Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019.
“Karena itu perolehan sertifikasi sangat penting bagi terbangunnya citra desa wisata, alignment dengan program pemulihan pariwisata sekaligus dalam menjaga kesehatan pengunjung maupun penduduk di desa wisata. Saat ini Desa Panglipuran tercatat telah memiliki sertifikat CHSE. Selanjutnya, kami mengharapkan agar seluruh desa wisata yang ada di Bali dapat memperoleh sertifikat ini,” harapnya.
Di samping dapat mendorong pelestarian alam dan budaya, pengembangan desa wisata yang berbasis pada partisipasi komunitas ini telah terbukti mampu meningkatkan ekonomi lokal melalui penciptaan lapangan pekerjaan, mendorong hasil industri dan pemberdayaan sumber ekonomi lokal. Tak heran model bisnis ini dijuluki sebagai wisata pro-rakyat. “Pentingnya peran desa wisata atau yang dikenal dengan Community Based Tourism juga diakui secara global,” ujarnya.
UNWTO mencatat bahwa desa wisata mampu meningkatkan perekonomian negara berkembang melalui pemberdayaan 54 persen wanita di pedesaan dan pemberdayaan usaha mikro. Ia pun mengakui minat wisatawan global terhadap desa wisata juga menunjukkan tren peningkatan, di mana preferensi turis saat ini bergeser kepada atraksi yang dapat memberikan pengalaman unik dan otentik, sekaligus berbasis pada kelestarian alam.
Momen Covid-19 juga menjadi salah satu akselerator pergeseran preferensi wisatawan dari mass tourism kepada special interest tourism. Ke depan, UNWTO memprediksi bahwa permintaan terhadap atraksi desa wisata akan semakin meningkat.
Berdasarkan catatan BI, Pulau Dewata memiliki keunggulan dan potensi yang sangat besar dalam menangkap peluang tersebut. Saat ini tercatat telah terdapat setidaknya 179 desa wisata yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Bali.
Keindahan sejumlah alam pedesaan yang menjadikan suasana desa yang cantik, tenang dan bahkan unik dengan berbagai warisan budaya dan adat tradisinya yang masih bertahan dari masa Bali tempo dulu sampai sekarang ini, akan menjadi daya tarik tersendiri, sebagai alternatif liburan yang lebih bervariasi di pulau Bali. *dik