Tabanan (bisnisbali.com) –Kebijakan pemerintah pusat dalam rangka menggalakkan sektor pariwisata di Bali akibat pandemi Covid-19 belum optimal. Bahkan, ada indikasi terjadinya pembiaran belakangan ini. Akibatnya, banyak akomodasi pariwisata lokal terancam berpindah kepemilikan dan beberapa tercatat sebagai debitur dengan kredit bermasalah di lembaga keuangan.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Tabanan I Gusti Bagus Made Damara mengungkapkan hal itu saat dimintai konfirmasinya, Kamis (1/7). Menurutnya, program penguatan yang digelontorkan pemerintah pusat untuk menggeliatkan pariwisata di Bali yang merupakan daerah paling parah secara nasional merasakan imbas pandemi Covid-19, belum berdampak signifikan hingga kini. Beberapa program bahkan lebih banyak dinikmati oleh pebisnis besar di Jakarta yang memiliki usaha di Bali, dibandingkan pebisnis lokal Bali.
Salah satu contohnya adalah program bantuan hibah kepada pelaku akomodasi pariwisata di Bali yang dialirkan oleh pemerintah pusat mengacu pada besaran pembayaran PHR. Pemberian hibah dengan mekanisme tersebut mengkondisikan uang yang digelontorkan ke Bali malah kembali ke Jakarta. Sebab, penerima hibah sebagian besar pengusaha hotel dan restoran berskala besar yang dominan merupakan milik pebisnis dari Jakarta.
“Dari usulan Gubernur Bali ke Kemenparekraf, hibah pariwisata ini akan kembali dikucurkan, namun molor dari target Juni lalu. Bila hibah itu jadi cair dan jika masih menggunakan pola yang sama seperti sebelumnya, bantuan tersebut dipastikan tidak akan berdampak lagi bagi masyarakat Bali,” tuturnya.
Damara juga menyinggung soal program penyelamatan usaha yang salah satunya menyasar pelaku akomodasi pariwisata di Bali melalui bantuan restrukturisasi kredit perbankan. Dikatakannya, keringanan kredit ini tidak banyak membantu, karena untuk membiayai operasional usaha saja sudah tidak mampu, terlebih lagi untuk biaya membayar bunga pinjaman lembaga keuangan.
Menurutnya, meski pelaku usaha akomodasi pariwisata di Bali sebagai debitur yang dicakup dalam program restrukturisasi kredit, status kreditnya oleh pihak bank sudah masuk dalam penilaian kredit tidak lancar. Sebab, sudah masuk kolektibilitas (tingkat ketertagihan) 1, 2 bahkan 3.
“Akibatnya, tidak sedikit pelaku usaha di Bali yang akhirnya menjual hotel. Ada pula yang tidak melakukan itu, karena ketika menjual hotel tetap tidak bisa menutup biaya utang yang ditanggung nantinya,” tegas Damara yang juga Korwil Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Tabanan.
Ia melajutkan, indikasi ketidakberpihakan pemerintah pusat pada pariwisata Bali muncul dari belum dibukanya penerbangan internasional hingga sekarang. Secara nasional hanya empat bandara yang dibuka sebagai gerbang masuk penerbangan internasional, yakni Bandara Soekarno-Hatta (Tangerang, Banten), Bandara Kualanamu (Medan, Sumut), Bandara Juanda (Sidoarjo, Jatim) dan Bandara Sam Ratulangi (Manado, Sulawesi Utara). Padahal Bali melalui pintu masuk Bandara I Gusti Ngurah Rai sudah sangat siap menerima kedatangan wisatawan mancanegara. Selain itu, vaksinasi di Bali cakupannya cukup tinggi di tingkat nasional dan zona hijau terus diperluas.
Mengingat dampak pandemi di Bali yang sudah berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Pulau Dewata hingga minus 9 persen, pihaknya mengharapkan pemerintah pusat memiliki kebijakan dengan pendekatan yang berbeda dibandingkan daerah lainnya. Keinginan kalangan pariwisata di Bali sebenarnya sudah dimohonkan ke pemerintah pusat melalui Gubernur Wayan Koster terkait pemulihan pariwisata dan sudah disetujui, namun masih mengambang terkait kapan akan direalisasikan. “Eksekusi hasil dari permohonan tersebut belum jelas hingga kini. Padahal kondisi masyarakat Bali dari sisi ekonomi atau uang beredar sudah jauh menurun,” pungkasnya. *man